Senin, 27 April 2015

Movie Review: Senyap

image
Adi Rukun menonton televisi. Adi Rukun menjalankan tugasnya sebagai optometris. Adi Rukun bercengkerama dengan keluarganya.

Tiga kegiatan yang terdengar sederhana itu menjadi formula dasar film dokumenter Senyap—berjudul internasional The Look of Silence—garapan Joshua Oppenheimer yang menindaklanjuti Jagal atau, bagi publik mancanegara, The Act of Killing.

Seperti pendahulunya, Senyap kembali berupaya menguak pembunuhan lebih dari satu juta orang yang dituduh terlibat sebagai anggota Partai Komunis Indonesia pada medio 1965 hingga 1966. Sebuah genosida yang dibiarkan. Namun, seperti dapat diterka lewat paragraf pembuka ulasan ini, ada pendekatan yang berbanding terbalik pada dua film dokumenter tersebut.

Jagal mengambil sudut pandang para pembunuh, si flamboyan Anwar Congo mencuri perhatian banyak orang, meminta mereka mempraktikkan ulang hal-hal sadis yang diperbuat pada masa lampau sambil difilmkan dengan kru serius. Surealisme berkabut beberapa kali muncul sebagai simbolisme.

Sementara Senyap dihasilkan dengan sudut pandang personal keluarga korban, Adi Rukun, dalam mencari titik terang perihal mendiang kakaknya, Ramli, yang tewas di tangan pasukan mati.

Maka tiga kegiatan yang menjadi formula dasar film dokumenter ini berkembang menjadi sesuatu yang memelintir psikis: Adi Rukun menonton televisi yang menampilkan hasil wawancara dengan penjagal, mereka mengenang prosesi pembunuhan sambil tertawa. Adi Rukun menjalankan tugasnya sebagai optometris, memeriksa mata manula yang dulu mengeliminasi komunis, dalam tanda kutip, seraya bertanya soal aktivitas keji pada masa lalu. Adi Rukun bercengkerama dengan keluarganya, yang terus berusaha melupakan nasib sang anak sulung.

Senyap, lewat pengembaraan Adi Rukun dalam memperjelas fokus penglihatan terhadap kematian sang kakak dan juga korban-korban lain, konstan mempertanyakan: apakah tepat bila kita sengaja melupakan hal krusial dalam hidup demi mengubur kekelaman?

Film dokumenter ini menjawab dengan lugas: tidak. Senyap mengkonfrontasi realitas dan menatapnya dalam-dalam, menggali lebih banyak lagi kenyataan yang belum tampak agar buram itu hilang.

Seakan jurnalis investigatif berpengalaman, Adi Rukun menjalankan wawancara demi wawancara dengan tajam. Ia tak ragu-ragu menanyakan sejumlah hal berkategori sensitif, bahkan sampai menghadapi istri serta anak-anak almarhum Hasan, salah satu penebas nyawa kakaknya, yang tak rela bila suami dan ayahnya dianggap pembunuh.

Ada pula mantan pembunuh yang kini menjadi pimpinan DPRD, serta eks-penjagal yang telah berstatus pengusaha sukses. Adi Rukun menginterogasi mereka tanpa pandang bulu, tak peduli dengan jabatan yang bertengger di bahu. Di mata Adi Rukun, mereka semua sama: pelaku pembunuhan.

Walau dirilis belakangan, Senyap lebih dulu digarap dibanding Jagal. Ini bisa dilihat dari gambar-gambarnya yang sederhana tanpa riasan, berbeda dengan Jagal yang memuat sinematografi cantik dan serupa mimpi. Sehingga bila ditonton berdasarkan tahun pembuatan, bukan tahun rilis, kedua film dokumenter ini memperlihatkan perkembangan Joshua Oppenheimer sebagai sutradara.

Namun Senyap memang lebih pantas dipresentasikan dengan telanjang. Langsung menuju poin tanpa perlu lama-lama bertutur. Hinggap di penonton tanpa saringan. Film dokumenter ini memperlihatkan urgensi atas lahirnya Adi Rukun yang lain, pribadi yang menuntut kebenaran. Demi mengganti gelap dengan terang, menukar buram dengan cerah.

Sumber : RollingStone Indonesia

0 komentar:

Posting Komentar