Kamis, 10 Juli 2014

Buai Cahaya



Cahaya, yang selalu menyilaukan
Tak jarang ia juga membutakan
Menyiramiku yang sedang berantakan
Kerana di terjang ombak kehidupan
Cahaya
Rayumu membelah pikiran
Sesekali membawaku dalam lamunan
Lamunan bak oase ditengah kegersangan
Terkadang juga menggoda dengan kerinduan
Cahaya
Pun kau kukagumi
Namun aku sesekali hati-hati
Tentang resah yang terkadang mengganggu sekali
Taklain kau yang kini
Kau yang seringkali
Diperebutkan~

Layu kah kau Kuncup Melati?



Ketika mata ini memandang kanan-kiri dengan ragu-ragu
Kulihat deretan kuncup melati berbalut rindu
Tak sedikit kuncup melati yang menurutku baru
Yang hadir bersuka cita tanpa terlihat sendu
Berpuluh-puluh kuncup melati bahagia
Terlihat satu dalam warna
Pun, hanya aku yang berbeda
Kerana ku sungguh kecewa
Kuncup melati sembuhkanlah
Rasa kecewaku yang telah membara
Mungkin
Bukan salah rumah yang berdebu
Tapi, salah penghuni yang tak mau menyapu
Kawanan kuncup melati
Berserakam dalam warna api
Semoga saja kita tak sampai disini
Terbuai dalam halusinasi
Tak disangka
Sepasang-pasang mata melihat dan tertuju pada kita
Memandang penuh seksama
Pun aku tak paham tentang apa itu amanah
Pun telah cukup ku bersaksi dan bersumpah
Di hadapan tiga anak manusia
Ini semua bagiku bualan semata
Banyak dari mereka
Datang ketika gembira ria
Dan buta ketika derita mengancam tiba-tiba

Rabu, 09 Juli 2014

Rumah Gersang - Teruntuk Rahim Merah ku


Semua yang dahulu kita cita-cita cita kan
Akan kecermelangnya masadepan
Tentang kebersamaan
Tentang kesatuan
Tentang kekeluargaan
Dan tetang ikatan
            Saat kita terbuai dengan mesra
            Merajut sebuah harapan bersama
Seolah tak ada kuasa selain kita
Dan semua itu bak Nampak dalam setiap diri kita
Namun, masa yang dimana aku mengkhawatirkannya
Ketika tak ada jiwa-jiwa perajut asa
Ketika jiwa-jiwa itu pergi entah kemana
Pun sebelumnya mereka adalah bak anak surga
            Aku sedikit terhibur dalam hati
            Ketika semua berdalih masa transisi
            Menjanjikan surga-surga mimpi setelah ini
            Seakan masalah tadi hanya sebuah ilusi

Selasa, 13 Mei 2014

Minggu, 13 April 2014

Masela 2013 Period, sebuah tawa dan tangis

Aku tak tau pasti
sudah berapa lama kita tak bersua
tak tau pasti sampai kapan kita tetap seperti ini

iringan tangis dan tawa pernah kita lalui dengan khidmat
aku tak terlalu mempersoalkan berapa tahun, berapa bulan, berapa minggu, berapa hari kita pernah berjalan bersama
sebuah rasa dan asa yang telah lama kita rajut
yang telah lama kita banggakan
telah lama kita tertawakan dan kita tangisi.

Ingin ku mengutuk pertemuan
ingin ku mengutuk takdir
tapi apalah daya, ini sebuah keharusan
ini sebuah kehendak yang harus kita ikuti dan kita patuhi

merindukan senyum, tawa, dan bahagiamu
merindukan tetesan air mata, kesedihan dan kepahitan

kata ini tak mampu menggambarkan
tak akan mampu mewakili rasa yang menggebu
atau bahkan meredakannya
dan setidaknya kata ini mencoba untuk menjadi obat penawar keresahan

merindukan atas mu

yogyakarta, 13 April 2014 jam 23.25

Sabtu, 29 Maret 2014

Rabu, 26 Februari 2014

Selasa, 18 Februari 2014

Note Jerinx (Drumer Superman Is Dead) "Sastra Is Dead"

Saat saya menulis note ini, saya serasa terbakar amarah, rasa tidak terima sekaligus jijik dengan rendahnya kualitas intelektual yg bertebaran congkak tanpa malu di facebook.
Jika saya bisa mengalikan diri saya hingga berjumlah jutaan, ingin sekali rasanya mencari satu- satu idiot itu dirumahnya dan menampar mereka di depan ibu nya.

Sebagai seniman saya merasa kebebasan berexpresi saya hendak dilucuti, diturunkan tuk kemudian disamaratakan dengan intelektualitas 'mereka' agar 'mereka' bisa mengerti apa yg saya katakan/ lakukan.
Dan saya katakan: persetan! Mereka ingin saya memakai bahasa yang mudah dimengerti, ingin agar saya menafikan seni sastra dan mengatakan semuanya dengan literal.
Lalu apa bedanya saya dengan seniman-seniman generik plastik yang merajai Indonesia saat ini?
Kalian ingin saya menjadi seperti mereka?

Mengenang 44 Tahun Soe Hok Gie

Jumat itu, di hari Lebaran kedua pada 12 Desember 1969, tim pendakian Gunung Semeru sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat, sebelum pukul 06:00 WIB. Bagi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) ini merupakan pendakian pertama gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 Mdpl (meter di atas permukaan laut).

Herman Onesimus Lantang dipercaya sebagai pemimpin pendakian. Soe Hok Gie, Aristides Katoppo, Maman Abdurachman, Anton Wijana (Wiwiek), Rudy Badil (non-Mapala UI serta dua non-UI yaitu, Idhan Dhantanvari Lubis (Mahasiswa Universitas Tarumanegara) dan Fredy Lodewijk Lasut.

Rudy Badil dalam bukunya, Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, mengisahkan, kereta api dari Jakarta berangkat pukul 07:00. Hok Gie yang sikapnya gesit, di stasiun itu ngobrol cukup lama dengan Rudy Hutapea, rekan seperjuangannya di Radio UI.