Jumat itu, di hari Lebaran kedua pada 12 Desember 1969, tim pendakian
Gunung Semeru sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta
Pusat, sebelum pukul 06:00 WIB. Bagi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala)
Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) ini merupakan pendakian
pertama gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 Mdpl
(meter di atas permukaan laut).
Herman Onesimus Lantang
dipercaya sebagai pemimpin pendakian. Soe Hok Gie, Aristides Katoppo,
Maman Abdurachman, Anton Wijana (Wiwiek), Rudy Badil (non-Mapala UI
serta dua non-UI yaitu, Idhan Dhantanvari Lubis (Mahasiswa Universitas
Tarumanegara) dan Fredy Lodewijk Lasut.
Rudy Badil dalam
bukunya, Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam
Bangsanya, mengisahkan, kereta api dari Jakarta berangkat pukul 07:00.
Hok Gie yang sikapnya gesit, di stasiun itu ngobrol cukup lama dengan
Rudy Hutapea, rekan seperjuangannya di Radio UI.
Sebelum
berangkat, Gie menitip pesan ke Rudy Hutapea untuk mengikuti
perkembangan politik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Saat
rombongan masuk gerbong dam melambaikan tangan sebagai lambaian
perpisahan ke pengantar yakni Rudy Hutapea, Raja, dan Utun, Gie
berseloroh ke Rudy yang sempat didengar oleh Wiwiek."Katanya, 'titip janda-janda gue di Jakarta ya'. Itu khas Hok Gie yang
sok badung, pakai bilang janda segala, padahal dia gak beranilah
macam-macam ke cewek-cewek itu," kata Badil.
Badil mengisahkan,
kereta melaju terus ke Timur, tanpa menghidangkan makan siang dan malam
atau kudapan ringan. Menjelang tengah malam, seusai makan nasi soto
sulung di stasiun, rombongan berangkat dengan kendaraan sewaan ke desa
terdekat di kaki Gunung Semeru. Menurut buku Belanda, rombongan harus ke
Kecamatan Tumpang menjelang Kota Malang, lalu mendatangi Desa Kunci,
desa terakhir yang dilalui jalan mobil."Berapa harga sewa mobil carteran itu, itu urusan Hok Gie yang pegang
duit karena dia yang paling pandai cari uang jalan," ujar Badil.
Badil
mengisahkan, rombongan singgah di rumah pimpinan Desa Gubuk Klakah, Pak
Binanjar. Di sini mulai lagi diskusi soal rute, tafsir jalan menuju
Semeru sesuai tulisan buku Belanda. Herman ngotot harus lewat Kali
Amprong.
Padahal, Pak Binanjar menyebutkan kalau penduduk lokal
memilih ke puncak Semeru lewat Desa Ranupane karena lebih landai dan
tidak menanjak. Pun tidak juga menyebarangi Kali Amprong yang suka
banjir dadakan. Akhirnya, sebagian tim meninjau Kali Amprong. Setelah
kembali, ditetapkanlah bahwa rute pendakian lewat Kali Amprong.
Desa
Gubuk Klakah perlahan menghilang, tertelan kabut yang nantinya menjadi
guyuran air berkepanjangan. Rombongan naik ke bukit dan menanjak ke kaki
pegunungan Semeru. Tahu-tahu, rombongan harus turun dan turun, menuju
lembah besar serta melihat pemandangan indah adanya, danau besar dan
lebar.
Perjalanan dilanjutkan di seputaran hutan koloni
pepohonan pinus, mencari celah menuju Arcopodo di perbatasan hutan dan
tanah berbatuan menjelang puncak Mahameru.
Hok Gie, Herman, dan
Tides, langsung menafsir info teks buku Belanda. Menurut mereka, di
Cemoro Kandang itu, tim akan melewati jalan kuda bikinan Belanda menuju
desa kecil di kawasan Lumajang. "Seingat saya, tidak ada yang panik dan
tidak ada yang protes, juga tidak ada yang merasa tersesat," kata Badil.
Perkemahan
malam itu di tepian danau gunung, Ranu Kumbolo, di bawah tetesan
gerimis dan kabut tebal. Romongan membentuk kelompok kecil. Hok Gie
menjadi sentra perhatian dengan segala kisahnya, soal lagu dan musik
yang menurutnya universal. “Malah Hok Gie dengan suara fales-nya
memancing-mancing dengan lagu patriotisme kaum pendemo, we're fighting for our freedom... we shall not be moved di AS," ujar Badil.Menurut Badil, zaman itu zaman susah buat pendaki gunung. Setelah
melalui hutan lumpur, tim istirahat. Tiga pentolan, yakni Herman, Tides,
Hok Gie, berjalan berbarengan mencari rintisan jalan ke arah puncak
Semeru.
Hok Gie menuturkan mereka sudah menemukan lorong di
tengah semak belukar yang ternyata merupakan pintu masuk rintisan hutan
ke arah atas. Mereka menemukan jalan masuk ke Arcopodo, sebagai salah
satu lokasi untuk menuju puncak Mahameru.
Selanjutnya Herman
memutuskan bahwa malam ini tim berkemah lagi di Ranu Kumbolo, mengecek
perbekalan. Esok paginya berangkat, jika tidak tersesat, menjelang sore
akan tiba di puncak.
"Malam hari yang sempat cerah, kami jadikan
ajang obrolan dan bersenda gurau dengan Hok Gie. Bayangkan, Soe Hok Gie
dengan tegas bilang, "Gua akan berulang tahun tanggal 17 Desember,
artinya hari Rabu yang lusa itu, besok kan Selasa tanggal 16 Desember.
Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau
Jawa," ungkap Badil menirukan ucapan Gie.
Pagi itu, 16 Desember
1969, langit masih setengah gelap, rombongan siap berangkat. Dalam
perjalanan, cuaca buruk yang penuh hujan dan gerimis bercampur kabut.
Hok Gie lalu bergegas turun, mungkin berbarengan dengan Tides. Sambil
berteriak dan turun, Tides menyuruh untuk segera turun karena cuaca
tidak bagus. Bau uap sangata menyengat membikin sesak kantong udara di
paru-paru.
Badil melanjutkan, entah berapa puluh menit berlalu,
cuaca belum betul-betul gelap. Lamat-lamat terdengar suara geruduk
guliran batu pasir. Terlihat Fredy dan Herman meluncur turun, tanpa Hok
Gie dan Idhan.
Herman datang duluan. Sambil mengempaskan diri ke
tenda darurat, dia langsung melapor ke Tides. "Hok Gie dan Idhan
meninggal, mereka tiba-tiba kejang dan tidak bergerak," kata Herman
seperti ditirukan Badil.
Herman, sebagai ketua tim pendakian,
kepada detikcom, Ahad (15/12), menuturkan di usianya yang sudah
menjelang 74 tahun ini ingatannya sudah menurun sehingga tak bisa
mengisahkan panjang lebar kenangannya itu. “Musibah Semeru terjadi lebih
dari 40 tahun yang lalu sejak saya diinterogasi polisi Malang. Daya
ingatku mulai memudar. Sebaiknya membaca buku editor Rudy Badil, (itu)
hasil kami semua mengingat-ingat kembali dengan memeras otak.”
Di kutip dari : detik.com
0 komentar:
Posting Komentar