Selasa, 18 Februari 2014

Mengenang 44 Tahun Soe Hok Gie

Jumat itu, di hari Lebaran kedua pada 12 Desember 1969, tim pendakian Gunung Semeru sudah berkumpul di Stasiun Kereta Api Gambir, Jakarta Pusat, sebelum pukul 06:00 WIB. Bagi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS-UI) ini merupakan pendakian pertama gunung tertinggi di Pulau Jawa dengan ketinggian 3.676 Mdpl (meter di atas permukaan laut).

Herman Onesimus Lantang dipercaya sebagai pemimpin pendakian. Soe Hok Gie, Aristides Katoppo, Maman Abdurachman, Anton Wijana (Wiwiek), Rudy Badil (non-Mapala UI serta dua non-UI yaitu, Idhan Dhantanvari Lubis (Mahasiswa Universitas Tarumanegara) dan Fredy Lodewijk Lasut.

Rudy Badil dalam bukunya, Soe Hok-Gie...Sekali Lagi: Buku Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya, mengisahkan, kereta api dari Jakarta berangkat pukul 07:00. Hok Gie yang sikapnya gesit, di stasiun itu ngobrol cukup lama dengan Rudy Hutapea, rekan seperjuangannya di Radio UI.
Sebelum berangkat, Gie menitip pesan ke Rudy Hutapea untuk mengikuti perkembangan politik di gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan. Saat rombongan masuk gerbong dam melambaikan tangan sebagai lambaian perpisahan ke pengantar yakni Rudy Hutapea, Raja, dan Utun, Gie berseloroh ke Rudy yang sempat didengar oleh Wiwiek."Katanya, 'titip janda-janda gue di Jakarta ya'. Itu khas Hok Gie yang sok badung, pakai bilang janda segala, padahal dia gak beranilah macam-macam ke cewek-cewek itu," kata Badil.

Badil mengisahkan, kereta melaju terus ke Timur, tanpa menghidangkan makan siang dan malam atau kudapan ringan. Menjelang tengah malam, seusai makan nasi soto sulung di stasiun, rombongan berangkat dengan kendaraan sewaan ke desa terdekat di kaki Gunung Semeru. Menurut buku Belanda, rombongan harus ke Kecamatan Tumpang menjelang Kota Malang, lalu mendatangi Desa Kunci, desa terakhir yang dilalui jalan mobil."Berapa harga sewa mobil carteran itu, itu urusan Hok Gie yang pegang duit karena dia yang paling pandai cari uang jalan," ujar Badil.

Badil mengisahkan, rombongan singgah di rumah pimpinan Desa Gubuk Klakah, Pak Binanjar. Di sini mulai lagi diskusi soal rute, tafsir jalan menuju Semeru sesuai tulisan buku Belanda. Herman ngotot harus lewat Kali Amprong.

Padahal, Pak Binanjar menyebutkan kalau penduduk lokal memilih ke puncak Semeru lewat Desa Ranupane karena lebih landai dan tidak menanjak. Pun tidak juga menyebarangi Kali Amprong yang suka banjir dadakan. Akhirnya, sebagian tim meninjau Kali Amprong. Setelah kembali, ditetapkanlah bahwa rute pendakian lewat Kali Amprong.

Desa Gubuk Klakah perlahan menghilang, tertelan kabut yang nantinya menjadi guyuran air berkepanjangan. Rombongan naik ke bukit dan menanjak ke kaki pegunungan Semeru. Tahu-tahu, rombongan harus turun dan turun, menuju lembah besar serta melihat pemandangan indah adanya, danau besar dan lebar.

Perjalanan dilanjutkan di seputaran hutan koloni pepohonan pinus, mencari celah menuju Arcopodo di perbatasan hutan dan tanah berbatuan menjelang puncak Mahameru.

Hok Gie, Herman, dan Tides, langsung menafsir info teks buku Belanda. Menurut mereka, di Cemoro Kandang itu, tim akan melewati jalan kuda bikinan Belanda menuju desa kecil di kawasan Lumajang. "Seingat saya, tidak ada yang panik dan tidak ada yang protes, juga tidak ada yang merasa tersesat," kata Badil.

Perkemahan malam itu di tepian danau gunung, Ranu Kumbolo, di bawah tetesan gerimis dan kabut tebal. Romongan membentuk kelompok kecil. Hok Gie menjadi sentra perhatian dengan segala kisahnya, soal lagu dan musik yang menurutnya universal. “Malah Hok Gie dengan suara fales-nya memancing-mancing dengan lagu patriotisme kaum pendemo, we're fighting for our freedom... we shall not be moved di AS," ujar Badil.Menurut Badil, zaman itu zaman susah buat pendaki gunung. Setelah melalui hutan lumpur, tim istirahat. Tiga pentolan, yakni Herman, Tides, Hok Gie, berjalan berbarengan mencari rintisan jalan ke arah puncak Semeru.

Hok Gie menuturkan mereka sudah menemukan lorong di tengah semak belukar yang ternyata merupakan pintu masuk rintisan hutan ke arah atas. Mereka menemukan jalan masuk ke Arcopodo, sebagai salah satu lokasi untuk menuju puncak Mahameru.

Selanjutnya Herman memutuskan bahwa malam ini tim berkemah lagi di Ranu Kumbolo, mengecek perbekalan. Esok paginya berangkat, jika tidak tersesat, menjelang sore akan tiba di puncak.

"Malam hari yang sempat cerah, kami jadikan ajang obrolan dan bersenda gurau dengan Hok Gie. Bayangkan, Soe Hok Gie dengan tegas bilang, "Gua akan berulang tahun tanggal 17 Desember, artinya hari Rabu yang lusa itu, besok kan Selasa tanggal 16 Desember. Gimana ya, seharusnya gua mau berulang tahun di tanah tertinggi di Pulau Jawa," ungkap Badil menirukan ucapan Gie.

Pagi itu, 16 Desember 1969, langit masih setengah gelap, rombongan siap berangkat. Dalam perjalanan, cuaca buruk yang penuh hujan dan gerimis bercampur kabut. Hok Gie lalu bergegas turun, mungkin berbarengan dengan Tides. Sambil berteriak dan turun, Tides menyuruh untuk segera turun karena cuaca tidak bagus. Bau uap sangata menyengat membikin sesak kantong udara di paru-paru.

Badil melanjutkan, entah berapa puluh menit berlalu, cuaca belum betul-betul gelap. Lamat-lamat terdengar suara geruduk guliran batu pasir. Terlihat Fredy dan Herman meluncur turun, tanpa Hok Gie dan Idhan.

Herman datang duluan. Sambil mengempaskan diri ke tenda darurat, dia langsung melapor ke Tides. "Hok Gie dan Idhan meninggal, mereka tiba-tiba kejang dan tidak bergerak," kata Herman seperti ditirukan Badil.

Herman, sebagai ketua tim pendakian, kepada detikcom, Ahad (15/12), menuturkan di usianya yang sudah menjelang 74 tahun ini ingatannya sudah menurun sehingga tak bisa mengisahkan panjang lebar kenangannya itu. “Musibah Semeru terjadi lebih dari 40 tahun yang lalu sejak saya diinterogasi polisi Malang. Daya ingatku mulai memudar. Sebaiknya membaca buku editor Rudy Badil, (itu) hasil kami semua mengingat-ingat kembali dengan memeras otak.”

Di kutip dari : detik.com

0 komentar:

Posting Komentar