Selasa, 03 Mei 2016

PETANI VS NEGARA - Dr. MUSTAIN ; Notulensi Ngobook (Ngobrol Buku) #5

Notulensi NGOBOOK :
Bedah buku : PETANI VS NEGARA - Dr. MUSTAIN
Pemantik : Fajri "boncel" Fauzi (kader IMM FP UMY 2013)
Notulensi oleh : Imam Fakhruroji (kader IMM FISIPOL UMY 2013)
Tempat di Angkringan Tamanan Banguntaman Bantul


Sepanjang sejarah bangsa, konflik pertanahan memang selalu menyeruak di negeri agraris ini. Dari rekaman berbagai kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial Hindia Belanda hingga rezim orde baru , mulai dari kasus Cilegon Banten (1888), Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), hingga Kalibakar Malang Selatan (1997), selalu saja menempatkan petani dalam posisi berhadap-hadapan dengan penguasa. Dalam posisi seperti ini sudah barang tentu resistensi petani tak bisa dielakkan. Konflik ini, dalam catatan Onghokham (1994) sejak pemberontakan Diponegoro berakhir (1830) hingga permulaan pergerakan nasional (1908), terhitung lebih dari 100 pemberontakan dan keresahan petani terjadi.Keberadaan tanah bagi petani selain berniali ekonomis, sebagai sumber penghidupan (Moore, 1966) juga bermakna magis-religio-kosmis (Topatimasang, 1998; Dhakidae, 1979; Basyar, 1979) dan bahkan idiologis. Ironisnya, sejak zaman kolonial bahkan jauh sebelumnya yakni dimasa kerajaan , hingga kini sejarah pertanahan (yang identik dengan nasib kehidupan petani itu) tidak banyak menunjukkan adanya tanda-tanda perbaikan. Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat kebijakan negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.
Di zaman kerajaan petani hanya mempunyai hak garap atas tanah setelah mendapat ijin dari Bekel (Suhartono, 1989; kartodirdjo, 1986). Ketika Inggris menjajah Indonesia (1811-1816), legalitas agraria diatur melalui Domain Theory Raffles (Wiradi, 1993: 1996). Setelah Van Den Bosch memegang kendali pemerintahan, selain dikeluarkan kebijakan sistem tanam paksa, Cultuurstelsel (1830-1870), para petani juga diwajibkan ikut membangun proyek-proyek besar (waduk, jalan raya, kereta api) dan bekerja diperkebunan, terutama di perkebunan tebu (Breman, 1983). Kebijakan ini kemudian digantikan oleh Agrarische Wet dengan menerapkan Agrarische Besluit (Staatsblad No. 118/1870) yang menerapkan asas domein verklaring, suatu prinsip yang menyatakan semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikannya atau tanah terlantar adalah domein negara (Suhendar dan Kasim, 1995; Fauzi, 1999; Siahaan, 1996; suhartono, 2000; Tjondronegoro, 2000)Mengingat struktur kepemilikan tanah masih timpang, maka setelah Indonesia merdeka (1945-1965) Presiden Soekarno membuat kebijakan untuk penataan agraria, suatu kebijakan yang dikenal sangat populis dan nasionalis. Asumsinya, penataan kepemilikan dan atau penguasaan agraria perlu dilakukan sebelum dialkukan industrialisasi (Suhendar dan Kasim, 1995; Fauzi, 1999; Tjondronegoro, 1999). Selam pemerintahan Soekarno, rakyat mulai merasakan adanya kebebasan (Fauzi, 1999), namun yang kelihatan paling siap merespons kebijakan land reform itu adalah Partai Komunis Indonesia (PKI), meski akhirnya gagal.
Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), hasil kerja panitia yang dibentuk pemerintahan Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan yang sah (Tap MPR No.IV/ 1978). Namun, kebijakan agraria tersebut oleh Soeharto diganti karena rezim ini mempunyai asumsi yang berbeda dalam melihat pembangunan (Mas’oed, 1989; Fauzi, 1999; 2000; Suhendar dan Kasim, 1995). Dengan karakter otoritarianismenya, pemerintah era Soeharto selain menjadikan masalah land reform hanya sebagai masalah teknis birokrasi pembangunan, juga menghapus legitimasi semua ormas petani dalam program land reform dengan mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang menghapus proses politik partisipatif orang desa dan pelibatan militer dalam pengawasan pembangunan desa.Jika diperhatikan secara cermat, latar belakang konflik pertanahan di pedesaan umumnya bersumber dai perebutan tanah antara perkebunan (baik yang difasilitasi oleh negara maupun swasta) dan rakyat petani. Akar persoalan konflik perkebunan dilihat dari sejarah lahirnya Hak Guna Usaha (HGU) pada tanah perkebunan. Pengelolaan HGU tersebut dalam praktiknya sering terjadi penyimpangan peruntukan, penguasaan, dan pengasingan terhadap masyarakat sekitar atas peran ko-eksistensi sehingga memicu manifestasi konflik laten. Sealain munculnya kebijakan nasionalisasi aset kolonial (yang sebenarnya terdapat pula tanah rakyat didalamnya), juga akibat dari diberikannya Hak Guna Usaha (HGU) kepada perusahaan perkebunan swasta (PTP) maupun pemerintah (PTPN) dalam bentuk perusahaan daerah perkebunan. Kecenderungan tersebut telah menegaskan bahwa yang dihadapi petani tidak saja negara, tapi juga kekuatan pasar global (global capitalism) yang pengaruhnya cenderung semakin kuat.
Konflik agraria di Jawa Timur sudah sejak lama berlangsung, tetapi sejak reformasi 1997, konflik yang sebelumnya bersifat latentelah berkembang menjadi terbuka, ekspresif, dan demonstatif. Kehidupan petani yang sebelumnya dihantui ketidakjelasan, dengan demikian semakin diperparah dengan rasa ketidakmenentuan. Kehidupan petani semakin hari bukannya semaikn membaik, melainkan justru semakin tertekan dan terperosok kedalam kemiskinan struktural. Semuanya itu mengakibatkan kemarahan dan rasa frustasi yang mendalam. Pada saat yang sama, rakyat petani selain tidak bisa memperjuangkan kepentingan dan kebutuhannya melalui institusi-institusi yang ada, juga tidak cukup mempunyai kemampuan mengekspresikan emosi secara wajar sehingga persoalan-persoalan yang muncul kemudian diarahkan menjadi kekerasan massa yang acap kali brutal, destruktif, dan radikal terhadap sasaran-sasaran yang dianggap menjadi simbol-simbol kekuasaan.
Dalam sejarah radikalisasi gerakan petani di Indonesia, paling tidak bisa dibedakan menurut masanya, misalnya masa kolonial, masa Orde Lama, masa Orde Baru dan masa transisi (reformasi) yang memiliki karakteristik atau corak yang berlainan. Radikalisasi pada era kolonial terjadi karena pengambilan tanah (adat) secara paksa oleh negara untuk kepentingan penguasaan tanah oleh kolonial Belanda dan Inggris untuk aktivitas usaha perkebunan (Kartodirdjo, 1984; Kuntowijoyo, 1997). Bentuk radikalisasi petani, seperti yang digambarka oleh Kuntowijoyo dan Sartono Kartodirdjo berupa pemberontakan-pemberontakan skala mikro yang dipimpin oleh seorang tokoh yang diistilahkan dengan Ratu Adil atau Imam Mahdi, yaitu seorang yang mengemban misi membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan akan memimpin masyarakatnya secara arif bijaksana.Sementara itu, radikalisasi petani pada era Orde Lama lebih diakibatkan oleh intervensi partai politik dengan masalah tanah sebagai isu kepentingan partai. Berlainan dengan masa Orde Baru, karakteristik konflik pertanahan bersifat vertikal antara pemegang hak dengan pengusaha yang berkolaborasi dengan penguasa (birokrasi pemerintah). Tanah pada kurun waktu ini dipandang sebagai bahan komoditas sebagai akibat pilihan paradigma pembangunanisme, developmentalisme (Noer Fauzi, 1997: 67-122). Berbeda dengan paradigma Orde Baru yang mengedepankan program pembangunan pertanian melalui revolusi hijau, pertumbuhan ekonomi dan komersialisasi tanah, radikalisasi petani pada masa Reformasi lebih dicirikan dengan reklaiming tanah sebagai akibat dari tidak jelasnya paradigma dalam penanganan sektor pertanian sehingga nasib petani tetap termarjinalisasi oleh pemilik modal. Namun bedanya lebih jelas, radikalisasi petani dipedesaan lebih rasional dengan tujuan lebih jelas, yakni kenaikan harga gabah dan tuntutan hak tanah (Siahaan, 1996: 17).
Tekanan struktural, kultural hingga kondisi subsistensi petani sudah melampaui batas toleransi dan sudah cukup menjadi ‘bara api’ bagi petani untuk melampiaskan kemarahannya terhadap tatanan sosial yang ada. Bara api tersebut telah membakar para petani Malang Selatan untuk melalakukan pembabatan massal (reclaiming) terhadap perkebunan yang dikuasai PTPN XII. Bara api itu semula hanya dilakukan oleh petani Desa Simojayan yang dengan berani melakukan pembabatan pada tanggal 23-25 Desember 1997 terhadap tanaman monokultur (kakao) seluas 240 ha. Kemudian pada tanggal 14 Juni 1998 disusul petani desa Tlogosari yang membabi buta membabat tanaman kakao, kopi, cengkeh dan pohon kelapa. Dua bulan berikutnya, tepatnya tanggal 23-25 Agustus 1998, terjadi pembabatan serupa di kawasan Banongan, Kepatihan dan Tirtoyudo kecamatan Tirtoyudo. Terakhir, pada tanggal 17 Oktober 1999, giliran petani desa Jogomulyan melakukan aksi yang sama dengan melakukan pembabatan pohon kakao dan karet seluas 500 ha lahan milik PT. Sumber Manggis.Apa yang telah dan sedang terjadi dan dialami para petani di Malang Selatan adalah serentetan kekecewaan yang telah terakumulasi. Akumulasi kekecewaan itu bermula dari ditariknya kembali tanah yang sudah digarap petani selama bertahun-tahun karena hak sewa kurang dari 5 tahun. Ketika itu petani lebih kecewa karena pelepasan kembali tanah itu banyak didukung dan/atau melalui saran (dan ancaman) kepala desa dan pejabat daerah di Malang. Meski para pejabat berjanji akan mengembalikan tahan ke petani setelah selesai hak sewa Belanda. Para petani sungguh sangat kecewa ketika setelah ditanyakan berkali-kali tanahnya justru sudah diatasnamakan PPN (yang kini menjadi PTPN XII). Sekali lagi, kekecewaan petani bertambah memuncak ketika kepala desa dan pejabat daerah tidak ada satupun yang mau membantu memperjuangkan petani.
Perampasan tanah hasil perjuangan leluhur petani Malang Selatan oleh PTPN XII yang didukung negara dipahami para petani setempat sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi diri dan kelangsungan masa depan mereka sebagai petani. Akumulasi kejengkelan, kekecewaan dan kemarahan petani itu memuncak pada tahun 1997 yang terekspresikan secara fenomenal melalui “perampasan balik” atau yang dikenal dengan reklaiming (reclaiming). Hal yang demikian terjadi akibat dimana tingkat subsistensi petani miskin sudah melampaui batas toleransi. Penulis menemukan apa yang digambarka Scott sebagai daerah-daerah dimana posisi petani miskin di pedesaan ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup menenggelamkannya (Scott, 1976). Kerentanan dan berbagai keterbatasan petani ketika menghadapi berbagai tantangan lingkungan, ekonomi uang dan persoalan ketenagakerjaan yang dalam banyak hal telah meningkatkan kerawanan terhadap resiko subsistensi. Ketidakberdayaan dan ketertekanan petani dalam menghadapi kekuatan negara ibarat “bara api” yang berelasi dengan (3) bentuk kerawanan: kerawanan struktural (perubahan demografis, produksi untuk pasar dan kuatnya negara), ekologis (ketidakpastian harga panen) dan monokultur.
Persoalan gerakan perlawanan petani Simojayan dan Tirtoyudo adalah produk dari kebijakan negara yang bertentangan, atau yang dipahami rakyat petani sebagai perampas dan atau pengancam sumber hidup dan kehidupan petani. Jika perampasan tanah sebagai sumber dan eksistensi kehidupan petani dilakukan dalam konteks pembangunan dan untuk itu (apalagi) melibatkan pihak lain (kalangan swasta misalnya, apalagi dengan cara-cara paksa dan bernuansa KKN), maka tingkat perlawanan petani akan sangat keras, militan, emosional dan destruktif. Dan bila memerhatikan pola hubungan sosial, politik, dan ekonomi era reformasi yang memperlihatkan pola yang tidak jauh berbeda dengan yang terjadi pada era sebelumnya, maka nasib petani tidak akan banyak berubah sebagaimana yang diharapkan.

0 komentar:

Posting Komentar