Selasa, 12 April 2016

PERKADERAN ; PERSOALAN PENTING YANG BIASA TIDAK DIANGGAP PENTING

Berbicara tentang organisasi yang besar seperti IMM ini bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang. Entah karena terlalu sempurnakah organisasi ini sehingga sulit mencari celah untuk di kritik atau semakin besar organisasi ini malah semakin besar pula keburukan yang terdapat didalamnya sehingga “malas” untuk membicarakan. Terlewat dari kedua asumsi tadi, saya tetap akan membicarakan organisasi besar ini, entah nanti hal yang didapat objektif ataupun subjektif, biarlah khalayak yang menilai.
Setelah memasuki tahun ketiga di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) ini, aku banyak mendapat tahu sekaligus banyak juga mendapat pilu. Kiprah atau perjalanan di Ikatan ini aku awali di tingkat terbawah organisasi ini, yaitu komisariat. Salah satu komisariat yang bisa dikatakan paling “alim” diantara yang lainnya, komisarita Fakultas Agama Islam UMY, satu diantara beberapa komisariat dibawah payung Pimpinan Cabang IMM Abdul Razak Fachruddin Kota Yogyakarta. Setelah melewati perkaderan formal tingkat dasar, Darul Arqom Dasar (DAD), tahun ketiga ini adalah massa dimana aku sekaligus teman sejawad seangkatan mendapat  tambahan amanah yaitu menjadi pimpinan. Mengurusi seratusan anak manusia yang menjadi tanggung jawab sehingga sesuai dengan tujuan ikatan bukanlah sebuah pekerjaan yang bisa di kerjakan semalam saja, sebagaimana Bandung Bondowoso, namun butuh beberapa faktor sehingga sesuai dengan Idealitas.


Nyaris memasuki waktu satu tahun menjadi pimpinan komisariat, banyak dinamika yang mengiringi perjalanan. Menjadikan seratusan anak manusia, kader, sesuai dengan tujuan ikatan adalah amanah yang memang harus dilakukan. Dalam buku Sistem Perkaderan IMM (SPI), tujuan IMM di redaksikan ; Mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Butuh usaha yang ekstra untuk mencapai tujuan tersebut, memegang kendali diri sendiri agar tetap istiqomah juga memegang kendali seratusan orang. Gagal adalah bayang-bayang menyakitkan yang memang harus di telan, gagal menjadikan mereka akademisi yang berakhlaq mulia ataupun diri ini yang gagal menjadi akademisi yang berkahlaq mulia. Namun, pastilah bukan seorang diri untuk mengurusi, ada berpuluhan teman atau saudara beda darah yang turut serta berjuang untuk itu.
Aku selalu bangga dengan IMM, ataupun orang-orang yang terlibat didalamnya. Aku menyaksikan orang-orang yang tanpa pamrih bekerja dengan sepenuh hati. Tanpa imbalan uang, barang, ataupun yang  lainnya, mereka tetap sepenuh hati melayani dan mengabdi menuju tujuan yang agung. Tak jarang, mereka juga mengorbankan waktu, tenaga, harta, pikiran dan menumpahkan kesemuannya itu ke IMM. Padahal, belum terlihat apa yang akan mereka dapatkan setelah dari IMM.
Jika kita menilik referensi berjuang, taruhlah SPI dan AD/ART, kemudian kita bandingkan dengan realita dikomisariat pastilah kita menjumpai sebuah fakta yang tidak sesuai dengan keduanya. Untuk mencapai tujuan mulia tersebut banyak hal yang menghalangi untuk itu. Ada beberapa catatan yang sering menganggu dalam pikiran, semoga menjadi pelajaran bersama yang nantinya, harapan, semakin berjalan ideal dalam realitas untuk mencapai tujuan mulia.
Membicarakan sebuah organisasi, pastilah ada divisi/bidang yang terdapat di dalamnya. Tujuan perbidang adalah membantu memperlancar dan memperjelas kerja dan kinerja sebuah organisasi. Untuk mencapai sebuah tujuang agung, di perlukan kerja bersama dan di bagi-bagi per bidang yang mendukung lancarnya organisasi tersebut. Namun, tak selamnya jalan mulus selalu memihak pada kita, dalam realitanya, adanya bidang kadangkala bukan “bekerja” untuk IMM tapi untuk bidangnya masing-masing. Penyakit jumud yang banyak menjadi kendala, kurang/tidak mau mencari referensi untuk bekerja sehingga hanya copy-paste program kerja tahun lalu tanpa tahu makna atau tanpa mengkaji kandungan yang terdapat dalam program kerja tersebut lah yang menjadi kendala.
Dalam urusan perkaderan di komisariat, belum bisa disebut dengan kata ideal. Kesadaran untuk mengkader tidak dimiliki semua pimpinan, biasanya hanya salah satu bidang yang (sedikit) sadar akan pentingnya perkaderan. Padahal, perkaderan adalah kewajiban bersama, bagaimana setiap sendi program kerja di IMM adalah nafas perkaderan, bukan hanya satu bidang yang melaksanakan kewajiban perkaderan itu. Sinkronisasi antar bidang sangat diperlukan untuk membentuk karakter perkaderan yang sesuai dengan idealita. Bahkan, karena ketidak-pahaman atau kurang-pahamnya, seringkali kerja bidang perkaderan di tentang bahkan diabaikan. Kerja menuju ideal itu, tidak ditanggapi dengan positif, kadangkala menggunakan egoisme bidang, sehingga terjadi “rebutan” kader[1].
Selain faktor penyebab oleh pimpinan itu sendiri, faktor kader yang menjadi sasaran kadang juga membuat kepala menunduk tanda frustasi. Anggapan bahwa DAD adalah satu-satunya agenda yang penting seringkali membuat para kader mengesampingkan kegiatan lanjutan setelah DAD yang sebenarnya amatlah penting. Dalam buku Genealogi Kaum Merah (GKM) di sebutkan bahwa kader dasar di klasifikasikan kedalam 3fase ; 1. Ideologisasi, 2. Keilmuan, 3. Pimpinan. Proses ideologisasi yang tidak matang akan berefek ke fase selanjutnya. Bagaimana kader dasar tingkat pertama di cekoki oleh materi ideologisasi (Ketauhidan, kemuhammadiyahan dan ke-imm-an) yang harapannya mereka memiliki pondasi yang kuat sekaligus menjadi proses pengenalan IMM lebih dalam. Pada tahun kedua, kader dirahkan kedalam wacana keilmuan yang harapannya menambah wawasan berpikir dan bergerak kader. Tahun ketiga, harapannya kader telah siap menjadi seorang pemimpin dengan bekal dua fase sebelum tahun ketiga ini. Setelah menjadi pimpinan di tahun ketiga, kader telah siap menerima identidas kader selanjutnya, yairu kader madya. Namun, proses berkader yang panjang, membuat banyak yang tidak sabar dan tidak menghargai sebuah proses dalam berkader itu sendiri. Coba kita melihat kebelakang, berapa yang masih bertahan setelah satu masa dalam hitungan tahun mereka berkader? Kemudian coba kita melihat ditahun setelahnya? Kemudian kita coba lihat lagi berapa yang masih bertahan ketika kita berada di tahun ketiga? Tahun keempat? Dan seterusnya. Proses internalisasi nilai yang belum massif bisajadi menjadi faktor penyebab akan hal itu.
Perkaderan formal tingkat dasar, darul arqom dasar (DAD), memiliki sebuah tujuan yaitu : Membentuk karakter dan kepribadian serta mutu anggota hingga mencapai  kualifikasi  kader IMM yang mempunyai wawasan tingkat Komisariat dan Cabang serta internalisasi dasar-dasar Islam dan meletakkan dasar pemahaman intelektualitas[2]. Nah dalam redaksi tersebut telah di jelaskan akan kemana tujuan atau output seperti apa yang dikehendaki. Membentuk karakter dan kepribadian seorang calon kader dalam waktu 4hari membutuhkun kerjasama dan prosedur yang tepat. Selama ini kita lihat, DAD tak ubahnya hanya sebuah kegiatan tahunan yang sedikit kita rasakan tidak ada arti kecuali salahsatu syarat masuk ke IMM. Standart operational procedure (SOP) yang telah ada selalu tidak di indahkan. Banyak permintaan dispensasi dalam penerapan SOP yang dianggap menyusahkan pihak penyelenggara (komisariat). Padahal jika kita melihat, membaca dan menelaah lebih dalam SOP tersebut, kita akan mengerti bahwa batasan-batasan yang tertera dalam SOP tersebut telah di desain untuk menunjang kelancaran DAD dan menunjang “masuk” dan “kelur”nya segala apa yang diberikan oleh instruktur. Salahsatu contoh permintaan dispensasi yang sering terjadi adalah masalah ijin peserta, banyak peserta yang ingin ijin dengan berbagai macam alasan. Menurutku, kebiasaan ini tidak baik, proses yang ada dalam DAD (mulai dari fase pendobrakan, rehabilitasi dan pembinaan) akan sedikit banyak terganggu dengan adanya hal itu. Peserta yang seharusnya ruh-jasad dan hati-pikirannya ada di tempat DAD, yang harapannya konsentrasi tentang DAD, malahan menjadi “buyar” akibat telah keluar dan menemukan konsentrasi yang lain. Jika alasannya adalah akademik lebih penting dari organisasi, kemudian untuk apa organisasi dibentuk/didirikan kalau memang tidak menjadi penting? Toh kalaupun itu, bukankah masih ada waktu yang lain? Bisa mengikuti DAD di kesempatan yang lain. Namun, menerapkan SOP sebagai mana yang diredaksikan memang sebuah “Hil yang Mustahal”, banyak yang belum paham dan banyak yang memandang bahwa DAD hanyalah sebuah rutinitas menambah “anak manusia” baru, entah mau dijadikan apa yang terpenting adalah Masuk!.
Syahdan, untuk berbagai macam problematika diatas, nampaknya seluruh pihak harus saling koordinasi dan saling mengerti. Bagaimana Pimpinan Cabang (khususnya Bidang Perkaderan) menjadi pengawal yang baik tentang tanggung jawab perkaderan yang di lakukan oleh komisariat. Jangan sampai, kerja Bidang Perkaderan di Pimpinan Cabang hanya DAD (yang mendompleng Instruktur) yang tiada proker lainnya. Begitu juga Instruktur, semoga semakin berbenah karena instruktur adalah pengelola perkaderan utama yang seharusnya menguasai orientasi, materi dan kualitas. Semoga kita senantiasa saling berbahagia dalam menjalani amanah, karena kerja ini bukan kerja yang menghasilkan uang namun menghasilkan generasi penerus persyarikatan, agama dan bangsa.
Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot!



[1] “rebutan” kader disini diartikan bahwa, seringkali perbidang mengadakan acara yang sasarnnya hanya satu, kader tahun pertama, karena mudah untuk mengajak mereka daripada kader tahun kedua atau ketiga. Karena berbagai macam acara tersebut, seringkali mengadakan kegiatan yang secara substansi sama namun diadakan bersamaan dengan acara yang berbeda. Mereka, kader tahun pertama, di eksploitasi karena biasanya semangat yang masih membara itu lah mudah untuk di”bodoh-bodoh”i.
[2] Sistem Perkaderan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah BAB 3

0 komentar:

Posting Komentar