Berbicara tentang organisasi yang besar seperti IMM ini bukanlah
sebuah pekerjaan yang gampang. Entah karena terlalu sempurnakah organisasi ini
sehingga sulit mencari celah untuk di kritik atau semakin besar organisasi ini
malah semakin besar pula keburukan yang terdapat didalamnya sehingga “malas”
untuk membicarakan. Terlewat dari kedua asumsi tadi, saya tetap akan
membicarakan organisasi besar ini, entah nanti hal yang didapat objektif
ataupun subjektif, biarlah khalayak yang menilai.
Setelah memasuki tahun ketiga di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
ini, aku banyak mendapat tahu sekaligus banyak juga mendapat pilu. Kiprah atau
perjalanan di Ikatan ini aku awali di tingkat terbawah organisasi ini, yaitu
komisariat. Salah satu komisariat yang bisa dikatakan paling “alim” diantara
yang lainnya, komisarita Fakultas Agama Islam UMY, satu diantara beberapa
komisariat dibawah payung Pimpinan Cabang IMM Abdul Razak Fachruddin Kota
Yogyakarta. Setelah melewati perkaderan formal tingkat dasar, Darul Arqom Dasar
(DAD), tahun ketiga ini adalah massa dimana aku sekaligus teman sejawad
seangkatan mendapat tambahan amanah
yaitu menjadi pimpinan. Mengurusi seratusan anak manusia yang menjadi tanggung
jawab sehingga sesuai dengan tujuan ikatan bukanlah sebuah pekerjaan yang bisa
di kerjakan semalam saja, sebagaimana Bandung Bondowoso, namun butuh beberapa
faktor sehingga sesuai dengan Idealitas.
Nyaris memasuki waktu satu tahun menjadi pimpinan komisariat, banyak
dinamika yang mengiringi perjalanan. Menjadikan seratusan anak manusia, kader,
sesuai dengan tujuan ikatan adalah amanah yang memang harus dilakukan. Dalam
buku Sistem Perkaderan IMM (SPI), tujuan IMM di redaksikan ; Mengusahakan
terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan
Muhammadiyah. Butuh usaha yang ekstra untuk mencapai tujuan tersebut,
memegang kendali diri sendiri agar tetap istiqomah juga memegang kendali
seratusan orang. Gagal adalah bayang-bayang menyakitkan yang memang harus di
telan, gagal menjadikan mereka akademisi yang berakhlaq mulia ataupun diri ini
yang gagal menjadi akademisi yang berkahlaq mulia. Namun, pastilah bukan
seorang diri untuk mengurusi, ada berpuluhan teman atau saudara beda darah yang
turut serta berjuang untuk itu.
Aku selalu bangga dengan IMM, ataupun orang-orang yang terlibat
didalamnya. Aku menyaksikan orang-orang yang tanpa pamrih bekerja dengan
sepenuh hati. Tanpa imbalan uang, barang, ataupun yang lainnya, mereka tetap sepenuh hati melayani
dan mengabdi menuju tujuan yang agung. Tak jarang, mereka juga mengorbankan
waktu, tenaga, harta, pikiran dan menumpahkan kesemuannya itu ke IMM. Padahal,
belum terlihat apa yang akan mereka dapatkan setelah dari IMM.
Jika kita menilik referensi berjuang, taruhlah SPI dan AD/ART,
kemudian kita bandingkan dengan realita dikomisariat pastilah kita menjumpai
sebuah fakta yang tidak sesuai dengan keduanya. Untuk mencapai tujuan mulia
tersebut banyak hal yang menghalangi untuk itu. Ada beberapa catatan yang
sering menganggu dalam pikiran, semoga menjadi pelajaran bersama yang nantinya,
harapan, semakin berjalan ideal dalam realitas untuk mencapai tujuan mulia.
Membicarakan sebuah organisasi, pastilah ada divisi/bidang yang
terdapat di dalamnya. Tujuan perbidang adalah membantu memperlancar dan memperjelas
kerja dan kinerja sebuah organisasi. Untuk mencapai sebuah tujuang agung, di
perlukan kerja bersama dan di bagi-bagi per bidang yang mendukung lancarnya
organisasi tersebut. Namun, tak selamnya jalan mulus selalu memihak pada kita,
dalam realitanya, adanya bidang kadangkala bukan “bekerja” untuk IMM tapi untuk
bidangnya masing-masing. Penyakit jumud yang banyak menjadi kendala,
kurang/tidak mau mencari referensi untuk bekerja sehingga hanya copy-paste program
kerja tahun lalu tanpa tahu makna atau tanpa mengkaji kandungan yang terdapat
dalam program kerja tersebut lah yang menjadi kendala.
Dalam urusan perkaderan di komisariat, belum bisa disebut dengan
kata ideal. Kesadaran untuk mengkader tidak dimiliki semua pimpinan, biasanya
hanya salah satu bidang yang (sedikit) sadar akan pentingnya perkaderan.
Padahal, perkaderan adalah kewajiban bersama, bagaimana setiap sendi program
kerja di IMM adalah nafas perkaderan, bukan hanya satu bidang yang melaksanakan
kewajiban perkaderan itu. Sinkronisasi antar bidang sangat diperlukan untuk
membentuk karakter perkaderan yang sesuai dengan idealita. Bahkan, karena
ketidak-pahaman atau kurang-pahamnya, seringkali kerja bidang perkaderan di
tentang bahkan diabaikan. Kerja menuju ideal itu, tidak ditanggapi dengan
positif, kadangkala menggunakan egoisme bidang, sehingga terjadi “rebutan”
kader[1].
Selain faktor penyebab oleh pimpinan itu sendiri, faktor kader yang
menjadi sasaran kadang juga membuat kepala menunduk tanda frustasi. Anggapan
bahwa DAD adalah satu-satunya agenda yang penting seringkali membuat para kader
mengesampingkan kegiatan lanjutan setelah DAD yang sebenarnya amatlah penting. Dalam
buku Genealogi Kaum Merah (GKM) di sebutkan bahwa kader dasar di klasifikasikan
kedalam 3fase ; 1. Ideologisasi, 2. Keilmuan, 3. Pimpinan. Proses ideologisasi
yang tidak matang akan berefek ke fase selanjutnya. Bagaimana kader dasar
tingkat pertama di cekoki oleh materi ideologisasi (Ketauhidan,
kemuhammadiyahan dan ke-imm-an) yang harapannya mereka memiliki pondasi yang
kuat sekaligus menjadi proses pengenalan IMM lebih dalam. Pada tahun kedua, kader
dirahkan kedalam wacana keilmuan yang harapannya menambah wawasan berpikir dan
bergerak kader. Tahun ketiga, harapannya kader telah siap menjadi seorang
pemimpin dengan bekal dua fase sebelum tahun ketiga ini. Setelah menjadi
pimpinan di tahun ketiga, kader telah siap menerima identidas kader
selanjutnya, yairu kader madya. Namun, proses berkader yang panjang, membuat
banyak yang tidak sabar dan tidak menghargai sebuah proses dalam berkader itu
sendiri. Coba kita melihat kebelakang, berapa yang masih bertahan setelah satu
masa dalam hitungan tahun mereka berkader? Kemudian coba kita melihat ditahun
setelahnya? Kemudian kita coba lihat lagi berapa yang masih bertahan ketika
kita berada di tahun ketiga? Tahun keempat? Dan seterusnya. Proses
internalisasi nilai yang belum massif bisajadi menjadi faktor penyebab akan hal
itu.
Perkaderan formal tingkat dasar, darul
arqom dasar (DAD), memiliki sebuah tujuan yaitu : Membentuk karakter dan kepribadian serta mutu anggota hingga
mencapai kualifikasi kader IMM yang mempunyai wawasan tingkat
Komisariat dan Cabang serta internalisasi dasar-dasar Islam dan meletakkan
dasar pemahaman intelektualitas[2].
Nah dalam redaksi tersebut telah di jelaskan akan kemana tujuan atau output
seperti apa yang dikehendaki. Membentuk karakter dan kepribadian seorang calon
kader dalam waktu 4hari membutuhkun kerjasama dan prosedur yang tepat. Selama
ini kita lihat, DAD tak ubahnya hanya sebuah kegiatan tahunan yang sedikit kita
rasakan tidak ada arti kecuali salahsatu syarat masuk ke IMM. Standart operational procedure (SOP)
yang telah ada selalu tidak di indahkan. Banyak permintaan dispensasi dalam
penerapan SOP yang dianggap menyusahkan pihak penyelenggara (komisariat).
Padahal jika kita melihat, membaca dan menelaah lebih dalam SOP tersebut, kita
akan mengerti bahwa batasan-batasan yang tertera dalam SOP tersebut telah di
desain untuk menunjang kelancaran DAD dan menunjang “masuk” dan “kelur”nya
segala apa yang diberikan oleh instruktur. Salahsatu contoh permintaan
dispensasi yang sering terjadi adalah masalah ijin peserta, banyak peserta yang
ingin ijin dengan berbagai macam alasan. Menurutku, kebiasaan ini tidak baik,
proses yang ada dalam DAD (mulai dari fase pendobrakan, rehabilitasi dan
pembinaan) akan sedikit banyak terganggu dengan adanya hal itu. Peserta yang
seharusnya ruh-jasad dan hati-pikirannya ada di tempat DAD, yang harapannya
konsentrasi tentang DAD, malahan menjadi “buyar” akibat telah keluar dan menemukan
konsentrasi yang lain. Jika alasannya adalah akademik lebih penting dari
organisasi, kemudian untuk apa organisasi dibentuk/didirikan kalau memang tidak
menjadi penting? Toh kalaupun itu, bukankah masih ada waktu yang lain? Bisa
mengikuti DAD di kesempatan yang lain. Namun, menerapkan SOP sebagai mana yang
diredaksikan memang sebuah “Hil yang Mustahal”, banyak yang belum paham dan
banyak yang memandang bahwa DAD hanyalah sebuah rutinitas menambah “anak
manusia” baru, entah mau dijadikan apa yang terpenting adalah Masuk!.
Syahdan, untuk berbagai macam problematika
diatas, nampaknya seluruh pihak harus saling koordinasi dan saling mengerti.
Bagaimana Pimpinan Cabang (khususnya Bidang Perkaderan) menjadi pengawal yang
baik tentang tanggung jawab perkaderan yang di lakukan oleh komisariat. Jangan
sampai, kerja Bidang Perkaderan di Pimpinan Cabang hanya DAD (yang mendompleng
Instruktur) yang tiada proker lainnya. Begitu juga Instruktur, semoga semakin
berbenah karena instruktur adalah pengelola perkaderan utama yang seharusnya
menguasai orientasi, materi dan kualitas. Semoga kita senantiasa saling
berbahagia dalam menjalani amanah, karena kerja ini bukan kerja yang menghasilkan uang namun menghasilkan generasi penerus
persyarikatan, agama dan bangsa.
Billahi Fii Sabilil Haq, Fastabiqul Khoirot!
[1] “rebutan” kader disini diartikan bahwa, seringkali perbidang
mengadakan acara yang sasarnnya hanya satu, kader tahun pertama, karena mudah
untuk mengajak mereka daripada kader tahun kedua atau ketiga. Karena berbagai
macam acara tersebut, seringkali mengadakan kegiatan yang secara substansi sama
namun diadakan bersamaan dengan acara yang berbeda. Mereka, kader tahun
pertama, di eksploitasi karena biasanya semangat yang masih membara itu lah
mudah untuk di”bodoh-bodoh”i.
0 komentar:
Posting Komentar