(besok
pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan mati syahid)
Teuku
Umar – Pahlawan nasional dari Nangroe Aceh Darussalam
Mungkin
kita memang benar-benar butuh ngopi. Atau, mungkin kita memang butuh ngopi
benar-benar. Bagaimana tidak, budaya nenek moyang yang akhir ini
banyak ditinggalkan. Budaya masa lalu yang sering mendapat stigma negative ̶
buang waktu, lekat dengan pengangguran, pemborosan, gak berguna, dll.
Budaya arif yang saat ini mungkin telah direduksi nilainya ̶ hanya
trend, sekedar minum, tempat foto dll. Mungkin itu yang kita perlakukan
di warung kopi, atau tempat ngopi lainnya.
Kalau
boleh kita menengok sejarah, kita akan menemukan bagaimana kerennya budaya ngopi,
kita akan tahu bagaimana kopi bukan hanya minuman hitam pahit itu, kita akan
tahu kalau warung kopi bukan hanya tempat untuk menggelak tawa atau menggelar
bualan. Kita akan tahu kalau budaya ngopi akan melahirkan buahnya.
Warung kopi akan membuahkan perubahan, menggelorakan peradaban dan menggoreskan
sejarah. Kopi menggelorakan semangat revolusi. Ngopi pernah membuat
resah penguasa, membuat resah para pemuka agama dan membuat resah pencibirnya.
Kopi,
cikal revolusi!
Revolusi
Mesir tahun 1919. Ketika rakyat Mesir saat itu memukul-mundur negara kolonial Inggris
dari negaranya dan mengangkat perdana mentri pertama mereka, Saad Zaghul. Kita
akan tahu, bahwa revolusi itu lahir dari kedai kopi, kedai kopi Mitatia, cikalnya
jauh sebelum tahun itu. Awalnya datang dari seorang Pria pengelana, ia lahir di
Afghanistan, belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia
telah menjelajah India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir. Namanya, Syeikh
Jamaluddin, orang biasa memanggil Syekh Jamaluddin Al Afghani ̶ karena
ia berasal dari Afghanistan. Obrolan-obrolannya di kedai kopi mampu membakar
semangat warga mesir untuk mengusir penjajah negaranya. Diantara yang setia
datang di kedai mitatia tersebut adalah Syekh Muhamamad Abduh, seorang
ulama yang kita kenal sebagai pembaharu.
Selain
Syekh Muhammad Abduh, ada dua orang lain yang setia datang, pertama
bernama Abdullah al-Nadim, ia mendapat julukan Khathîb al-Tsawrah (Orator
Revolusi 1919). Yang kedua, junior Abduh di Universitas Al-Azhar, bernama Saad
Zaghlul, yang kemudian ia menjadi tokoh revolusi dan Perdana Menteri pertama
rakyat Mesir. Kedua orang ini memang bisa dijuluki sebagai “singa podium”.
Kata-kata sang guru, Syekh Jamaluddin, tertancap kuat di nadi mereka
sehingga tidak heran kalau keduanya di sebut sebagai tokoh Revolusi
Mesir 1919.
Tidak
hanya di Mesir, di Perancis ada yang sebuah kedai kopi bernama Procope. Procope
menjadi jujukan para tokoh-tokoh besar dunia ̶ Rousseau, Denis Diderot, dan
Napoleon Bonaparte ̶ termasuk juga Voltaire, seorang Filsuf yang bisa dibilang
berperan penting dalam Revolusi Perancis. Minuman kopi lah yang banyak
mengilhami gagasan-gagasan pencerahan dan pergerakan, termasuk Revolusi
Perancis, dari kedai kopi lah Revolusi Perancis dapat di”letuskan”. Konon,
Voltaire adalah seorang “pecandu” kopi berat, kabarnya ia mampu menghabiskan 50
cangkir kopi dalam sehari. Jules Michelet, bahkan menyebutkan bahwa
kopilah yang mengubah sejarah Perancis. “Kopi, minuman tak memabukkan. Stimulan
mental yang kuat, meningkatkan kejernihan otak,” begitu dia kira-kira menyebut
kehebatan minuman tersebut.
Kopi
sebenarnya banyak melahirkan perubahan sosial. Ketika kopi telah menemukan
tempatnya, kopi tidak hanya sebagai barang yang layak dikonsumsi. Lebih dari
itu, kopi turut juga terlibat dalam perubahan sosial-politik. Ketika media
massa belum menemukan momentumnya, kedai kopi berperan sebagai itu. Kedai kopi
berperan sebagai media massa. Berita tersalur dari mulut ke mulut, kabar
tersiar dari satu individu ke individu lainnya. Proses dialogis
itu terjadi di kedai-kedai kopi. Karena masifnya kedai kopi sebagai media
informasi, penguasa-penguasa yang khawatir hal-hal politis dibincangkan di
kedai-kedai kopi, mulai ambil ancang-ancang. Tidak sedikit
penguasa di beberapa belahan dunia yang mulai resah dan bahkan mengambil
tindakan yang lebih extream, melarang beredarnya kopi dan menutup
kedai-kedai kopi. Bahkan di Jerman, pada saat itu, penguasanya membuat propaganda
bahwa kopi telah menggeser minuman khas Jerman yaitu bir sehingga harus
di musnahkan. Namun, segala tabiat buruk para penguasa itu mendapat resitensi
dan pertentangan. Banyak masyarakat yang melawan dan tetap menggunakan
kedai-kedai kopi sebagai tempat yang nyaman untuk obral-obrol perkara politik
dan sosial. Di Eropa, misal, perlawanan itu mendapat puncaknya, gagasan-gagasan
yang tertuang di cangkir-cangkir kemudian di telan dalam
kedahagaan pergerakan, akhirnya memunculkan buahnya, Revolusi Perancis.
Khittah
kopi.
Menurut
Salim A Fillah, budaya ngopi sangat akrab di dunia Islam. Ada dua jenis tipe
motivasi orang islam dahulu untuk meminum kopi. Kalau tidak digunakan sebagai
penjaga agar kantuk tak datang oleh para `Abid, ahli Ibadah,
dan menambah kekhusukan dalam bermunajat kepada-Nya. Yang kedua kopi juga
digunakan oleh Ahli `Ilmu sebagai pengganjal mata dan penjaga pikir agar
mampu menyelami bahtera ilmu dalam buku-buku dengan khusuk.
Sebuah
manuskrip tentang budaya Muslim di abad ke-15 menyebutkan, kopi mulai dikenal
dalam budaya umat Islam pada sekitar tahun 1400. Kopi itu dibawa masyarakat
Yaman dari Ethiopia. Orang Afrika, terutama Ethiopia, telah mengenal kopi sejak
tahun 800 SM. Saat itu, mereka mengonsumsi kopi yang dicampur dengan lemak hewan
dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.
Sumber
lain, yakni kesaksian dari ilmuwan Muslim terkemuka, Al-Razi dan Ibnu Sina,
menyatakan kopi telah dikenal di kalangan umat Islam pada awal abad ke-10.
Minuman ini pertama kali dinikmati dan dibudidayakan oleh masyarakat Yaman.
Mereka menyebut minuman kopi sebagai al-Qahwa. Konon, peminum
pertama kopi adalah kaum sufi yang menggunakannya sebagai stimulan agar tetap
terjaga selama berzikir pada malam hari. Dari Yaman, keharuman kopi merebak ke
berbagai kawasan di sekitarnya, lalu ke Eropa, Amerika, dan akhirnya mendunia.
Para pelancong, peziarah, dan pedaganglah yang membawa kopi melanglang buana.
Ibnu
Sina sendiri, kabarnya, pernah meneliti sebuah zat kimia yang ada dalam kopi
dalam segi kesehatan (kedokteran). Ia menemuka bahwa dalam kopi terdapat zat
yang membuat semangat dan memberi energi lebih kepada tubuh. Tidak hanya itu, Ibnu
Sina menyebutkan bahwa manfaat kopi dapat menguatkan tubuh, membersihkan kulit
dan memberikan bau semerbak untuk sekujur tubuh. Hal ini tercantum dalam
dokumennya dalam ilmu kedokteran dan kesehatan yang familiar yaitu Canon Of
Medicine. Sebuah dokumen yang menjadi acuan para dokter dan sekolah-sekolah
kesehatan Eropa hingga abad ke-19.
Jika
kita melihat negri kita sendiri, barangkali peran kopi pada sejarahnya tidak
sehebat di Perancis atau di Mesir. Kopi memiliki sejarah yang bisa dikatakan
kelam. Di indonesia, kopi tidak lebih hanya komoditas perdagangan oleh
penjajah, Belanda, untuk di ekspor ke seluruh Dunia. Kabarnya, Belanda sengaja
membawa biji kopi ke Indonesia karena mengetahui geliat bisnis di sektor kopi.
Para petani-petani di paksa untuk menanam kopi dan di bayar dengan murah ̶
bahkan tidak dibayar. Itu semua terjadi ketika Belanda menerapkan tanam paksa.
Kopi-kopi terbaik dan berani bersaing yang ada di Perancis, Absterdam, Istanbul
dll merupakan hasil dari tanam paksa di Indonesia.
Kopi
memang membutuhkan perjalanan panjang sebelum sampai pada cangkir-cangkir dan
di teguk dalam tenggorokan. Petani harus mempersiapkan lahan tanah yang subur
dan iklim yang sesuai. Hingga kopi ditanam, petani juga harus merawatnya,
karena karakter kopi akan mudah berubah walau berbeda perlakuan. Petani juga
harus menunggu waktu yang cukup lama dari menanam hingga panen. Setelah panen,
seharusnya petani merasakan kesejahteraan setelah bersusah payah merawat
kualitas kopi. Tapi kenyataan berbeda, setelah panen, petani harus bertemu
dengan tengkulak-tengkulak pemeras yang kejam, tamak dan korup. Itulah realitas
kelam sejarah kopi di Indonesia ̶ mungkin hingga sekarang. Kopi memang
melegenda di Indonesia, tapi keuntungan yang yang didapat sangat rendah jika di
padankan dengan peluanganya dalam hal finansial.
Inspirasi,
kopi!
Kopi,
ngopi dan Kedai Kopi, memang memiliki makna yang berbeda. Namun,
ketiganya memiliki satu simpul yang erat, yaitu tentang sebuah kopi. Kopi bisa
kita artikan sebuah biji-bijian yang ditanam didataran tinggi, yang memiliki
proses panjang mengiringinya dari menanam hingga memanen, dari lembah-lembah
hingga kecangkir-cangkir dan tenggorokan. Ada banyak kisah yang terjadi
disepanjang perjalanannya, kisah air mata buruh kebun kopi dengan upah yang
murah, kisah keringat petani kopi yang berbuah bertemunya dangan tengkulak yang
kejam, pelit dan korup. Juga, kisah mesin-mesin olahan kopi produksi lokal yang
selalu dipandang sebelah mata oleh para pengolah kopi yang tergiur merk
mesin-mesin kopi terkenal dari negara lain.
Ngopi
sendiri memiliki arti sebuah perilaku, kebiasaan atau proses sosialiasi yang ditandai
dengan menjadikan kopi sebagai suguhan ̶
bahkan seringkali bukan kopi
̶ yang ada dalam Kedai-kedai Kopi.
Tidak hanya kopi yang memiliki kisah panjang, ngopi dan tempat ngopinya ̶
kedai kopi ̶ sendiri memiliki kisahnya. Mulai dari ngopi
yang dipandang sebagai budaya buang-buang waktu, trend ngopi dikalangan
milenial yang tak lebih hanya sebagai gaya-gayaan ̶ miskin makna ̶ dan
tempat ngehits, hingga ngopi yang tidak lagi sebagai tempat berinteraksi
dan hanya tempat menumpang leha-leha. Juga nasib Kedai-kedai Kopi
lokal yang kalah ramai dengan Kedai Kopi branded asal luar negeri ̶
padahal kopinya berasal dari negri sendiri ̶
hingga cafe yang bermodus Kedai Kopi yang otomatis tidak menjual kopi ̶ atau
berbahan dasar kopi.
Maka,
baik kita pecinta kopi arabica, robusta, excelsa, liberica, kopi ‘sobek’ atau sachet,
kopi susu, kopi impor dan lain sebagainya, mari bersatu!. Kita ramaikan Kedai-kedai
kopi sebagai pusat peradaban. Kita gelorakan budaya ngopi sebagai proses
sosialisasi, berdiskusi dan mendaras ilmu-ilmu. Kita kobarkan kopi sebagai
pendorong gagasan-gagasan kita sehingga berupa aksi.
Bisa
kita bayangkan. Segala gagasan yang ada dalam otak kita dapat kita tuangkan
dalam cangkir-cangkir kopi, kemudian berekstraksi bersama mengalirnya tuah-tuah
dari mulut kita, dan pada akhirnya akan kita teguk dalam-dalam sehingga gagasan
tidak akan menguap bercampur polusi, gagasan akan lahir dalam rupa
realisasi ̶ minimal, walau tidak langsung, bisa kita
tagihkan di pertemuan selanjutnya.
Bisa
juga kita bayangkan, kita dapat memanen buah dari budaya ini. Tidak ada lagi pertentangan
berkedok diskusi dalam grup dunia maya yang berujung “keluar grup”, yang
berujung nggondok, yang berujung munculnya remah-remah kebencian. Proses
sosialisasi dalam ngopi memang nyata dan minim konflik ̶
untuk tidak menyebut tidak ada konflik
̶ kita akan dapat menilai secara
langsung dari gestur, mimik, intonasi, gerak dan kondisi psikologis lainnya
secara nyata dari lawan bicara atau teman dalam bersosialiasi kita.
Dari
peristiwa sejarah yang telah kita obrolkan diatas bisa menjadi bentuk
penyadaran bagi saya khususnya dan bagi Jamaah Kopiiyah seluruh Jagat
Raya ̶ meskipun kebenaran akan cerita-cerita diatas
masih perlu kita cari kebenarannya lagi, tapi minimal bisa menjadi inspirasi.
Semoga, dari kita, Kedai Kopi dan budaya ngopi dapat menemukan
momentumnya lagi. Dari kita, akan lahir Revolusi Mesir dan Revolusi Perancis versi
kita. Semoga, Kedai Kopi dan budaya ngopi bukan hanya sebagai tempat
singgah pengumbar nafsu syahwati yang lebih banyak mengundang madhorot
daripada manfaah. Mari kembali ke Khittah Kopi. Akhirul kalam,
wallahu`alam bi
showab. Tabik!
[1] Penyadur merupakan penggemar kopi dan pelaku budaya ngopi. Juga,
sebagai Sekretaris Bidang Perkaderan PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta tahun
2016-2017. Termasuk juga, ia bagian dari keluarga Team Hanum Mawar.