Senin, 27 Maret 2017

Khittah Perjuangan Kopi

Sumber http://historia.id/img/foto_berita/103120206-BUDAYA-Kopi-yang-Mengubah-Eropa.jpg
Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid
(besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan mati syahid)
Teuku Umar – Pahlawan nasional dari Nangroe Aceh Darussalam

Mungkin kita memang benar-benar butuh ngopi. Atau, mungkin kita memang butuh ngopi benar-benar. Bagaimana tidak, budaya nenek moyang yang akhir ini banyak ditinggalkan. Budaya masa lalu yang sering mendapat stigma negative ̶ buang waktu, lekat dengan pengangguran, pemborosan, gak berguna, dll. Budaya arif yang saat ini mungkin telah direduksi nilainya  ̶  hanya trend, sekedar minum, tempat foto dll. Mungkin itu yang kita perlakukan di warung kopi, atau tempat ngopi lainnya.
Kalau boleh kita menengok sejarah, kita akan menemukan bagaimana kerennya budaya ngopi, kita akan tahu bagaimana kopi bukan hanya minuman hitam pahit itu, kita akan tahu kalau warung kopi bukan hanya tempat untuk menggelak tawa atau menggelar bualan. Kita akan tahu kalau budaya ngopi akan melahirkan buahnya. Warung kopi akan membuahkan perubahan, menggelorakan peradaban dan menggoreskan sejarah. Kopi menggelorakan semangat revolusi. Ngopi pernah membuat resah penguasa, membuat resah para pemuka agama dan membuat resah pencibirnya.
Kopi, cikal revolusi!
Revolusi Mesir tahun 1919. Ketika rakyat Mesir saat itu memukul-mundur negara kolonial Inggris dari negaranya dan mengangkat perdana mentri pertama mereka, Saad Zaghul. Kita akan tahu, bahwa revolusi itu lahir dari kedai kopi, kedai kopi Mitatia, cikalnya jauh sebelum tahun itu. Awalnya datang dari seorang Pria pengelana, ia lahir di Afghanistan, belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia telah menjelajah India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir. Namanya, Syeikh Jamaluddin, orang biasa memanggil Syekh Jamaluddin Al Afghani ̶ karena ia berasal dari Afghanistan. Obrolan-obrolannya di kedai kopi mampu membakar semangat warga mesir untuk mengusir penjajah negaranya. Diantara yang setia datang di kedai mitatia tersebut adalah Syekh Muhamamad Abduh, seorang ulama yang kita kenal sebagai pembaharu.
Selain Syekh Muhammad Abduh, ada dua orang lain yang setia datang, pertama bernama Abdullah al-Nadim, ia mendapat julukan KhathĂ®b al-Tsawrah (Orator Revolusi 1919). Yang kedua, junior Abduh di Universitas Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul, yang kemudian ia menjadi tokoh revolusi dan Perdana Menteri pertama rakyat Mesir. Kedua orang ini memang bisa dijuluki sebagai “singa podium”. Kata-kata sang guru, Syekh Jamaluddin, tertancap kuat di nadi mereka sehingga tidak heran kalau keduanya di sebut sebagai tokoh Revolusi Mesir 1919.
Tidak hanya di Mesir, di Perancis ada yang sebuah kedai kopi bernama Procope. Procope menjadi jujukan para tokoh-tokoh besar dunia ̶ Rousseau, Denis Diderot, dan Napoleon Bonaparte ̶ termasuk juga Voltaire, seorang Filsuf yang bisa dibilang berperan penting dalam Revolusi Perancis. Minuman kopi lah yang banyak mengilhami gagasan-gagasan pencerahan dan pergerakan, termasuk Revolusi Perancis, dari kedai kopi lah Revolusi Perancis dapat di”letuskan”. Konon, Voltaire adalah seorang “pecandu” kopi berat, kabarnya ia mampu menghabiskan 50 cangkir kopi dalam sehari. Jules Michelet, bahkan menyebutkan bahwa kopilah yang mengubah sejarah Perancis. “Kopi, minuman tak memabukkan. Stimulan mental yang kuat, meningkatkan kejernihan otak,” begitu dia kira-kira menyebut kehebatan minuman tersebut.
Kopi sebenarnya banyak melahirkan perubahan sosial. Ketika kopi telah menemukan tempatnya, kopi tidak hanya sebagai barang yang layak dikonsumsi. Lebih dari itu, kopi turut juga terlibat dalam perubahan sosial-politik. Ketika media massa belum menemukan momentumnya, kedai kopi berperan sebagai itu. Kedai kopi berperan sebagai media massa. Berita tersalur dari mulut ke mulut, kabar tersiar dari satu individu ke individu lainnya. Proses dialogis itu terjadi di kedai-kedai kopi. Karena masifnya kedai kopi sebagai media informasi, penguasa-penguasa yang khawatir hal-hal politis dibincangkan di kedai-kedai kopi, mulai ambil ancang-ancang. Tidak sedikit penguasa di beberapa belahan dunia yang mulai resah dan bahkan mengambil tindakan yang lebih extream, melarang beredarnya kopi dan menutup kedai-kedai kopi. Bahkan di Jerman, pada saat itu, penguasanya membuat propaganda bahwa kopi telah menggeser minuman khas Jerman yaitu bir sehingga harus di musnahkan. Namun, segala tabiat buruk para penguasa itu mendapat resitensi dan pertentangan. Banyak masyarakat yang melawan dan tetap menggunakan kedai-kedai kopi sebagai tempat yang nyaman untuk obral-obrol perkara politik dan sosial. Di Eropa, misal, perlawanan itu mendapat puncaknya, gagasan-gagasan yang tertuang di cangkir-cangkir kemudian di telan dalam kedahagaan pergerakan, akhirnya memunculkan buahnya, Revolusi Perancis.
Khittah kopi.
Menurut Salim A Fillah, budaya ngopi sangat akrab di dunia Islam. Ada dua jenis tipe motivasi orang islam dahulu untuk meminum kopi. Kalau tidak digunakan sebagai penjaga agar kantuk tak datang oleh para `Abid, ahli Ibadah, dan menambah kekhusukan dalam bermunajat kepada-Nya. Yang kedua kopi juga digunakan oleh Ahli `Ilmu sebagai pengganjal mata dan penjaga pikir agar mampu menyelami bahtera ilmu dalam buku-buku dengan khusuk.
Sebuah manuskrip tentang budaya Muslim di abad ke-15 menyebutkan, kopi mulai dikenal dalam budaya umat Islam pada sekitar tahun 1400. Kopi itu dibawa masyarakat Yaman dari Ethiopia. Orang Afrika, terutama Ethiopia, telah mengenal kopi sejak tahun 800 SM. Saat itu, mereka mengonsumsi kopi yang dicampur dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.
Sumber lain, yakni kesaksian dari ilmuwan Muslim terkemuka, Al-Razi dan Ibnu Sina, menyatakan kopi telah dikenal di kalangan umat Islam pada awal abad ke-10. Minuman ini pertama kali dinikmati dan dibudidayakan oleh masyarakat Yaman. Mereka menyebut minuman kopi sebagai al-Qahwa. Konon, peminum pertama kopi adalah kaum sufi yang menggunakannya sebagai stimulan agar tetap terjaga selama berzikir pada malam hari. Dari Yaman, keharuman kopi merebak ke berbagai kawasan di sekitarnya, lalu ke Eropa, Amerika, dan akhirnya mendunia. Para pelancong, peziarah, dan pedaganglah yang membawa kopi melanglang buana.
Ibnu Sina sendiri, kabarnya, pernah meneliti sebuah zat kimia yang ada dalam kopi dalam segi kesehatan (kedokteran). Ia menemuka bahwa dalam kopi terdapat zat yang membuat semangat dan memberi energi lebih kepada tubuh. Tidak hanya itu, Ibnu Sina menyebutkan bahwa manfaat kopi dapat menguatkan tubuh, membersihkan kulit dan memberikan bau semerbak untuk sekujur tubuh. Hal ini tercantum dalam dokumennya dalam ilmu kedokteran dan kesehatan yang familiar yaitu Canon Of Medicine. Sebuah dokumen yang menjadi acuan para dokter dan sekolah-sekolah kesehatan Eropa hingga abad ke-19.
Jika kita melihat negri kita sendiri, barangkali peran kopi pada sejarahnya tidak sehebat di Perancis atau di Mesir. Kopi memiliki sejarah yang bisa dikatakan kelam. Di indonesia, kopi tidak lebih hanya komoditas perdagangan oleh penjajah, Belanda, untuk di ekspor ke seluruh Dunia. Kabarnya, Belanda sengaja membawa biji kopi ke Indonesia karena mengetahui geliat bisnis di sektor kopi. Para petani-petani di paksa untuk menanam kopi dan di bayar dengan murah ̶ bahkan tidak dibayar. Itu semua terjadi ketika Belanda menerapkan tanam paksa. Kopi-kopi terbaik dan berani bersaing yang ada di Perancis, Absterdam, Istanbul dll merupakan hasil dari tanam paksa di Indonesia.
Kopi memang membutuhkan perjalanan panjang sebelum sampai pada cangkir-cangkir dan di teguk dalam tenggorokan. Petani harus mempersiapkan lahan tanah yang subur dan iklim yang sesuai. Hingga kopi ditanam, petani juga harus merawatnya, karena karakter kopi akan mudah berubah walau berbeda perlakuan. Petani juga harus menunggu waktu yang cukup lama dari menanam hingga panen. Setelah panen, seharusnya petani merasakan kesejahteraan setelah bersusah payah merawat kualitas kopi. Tapi kenyataan berbeda, setelah panen, petani harus bertemu dengan tengkulak-tengkulak pemeras yang kejam, tamak dan korup. Itulah realitas kelam sejarah kopi di Indonesia ̶ mungkin hingga sekarang. Kopi memang melegenda di Indonesia, tapi keuntungan yang yang didapat sangat rendah jika di padankan dengan peluanganya dalam hal finansial.
Inspirasi, kopi!
Kopi, ngopi dan Kedai Kopi, memang memiliki makna yang berbeda. Namun, ketiganya memiliki satu simpul yang erat, yaitu tentang sebuah kopi. Kopi bisa kita artikan sebuah biji-bijian yang ditanam didataran tinggi, yang memiliki proses panjang mengiringinya dari menanam hingga memanen, dari lembah-lembah hingga kecangkir-cangkir dan tenggorokan. Ada banyak kisah yang terjadi disepanjang perjalanannya, kisah air mata buruh kebun kopi dengan upah yang murah, kisah keringat petani kopi yang berbuah bertemunya dangan tengkulak yang kejam, pelit dan korup. Juga, kisah mesin-mesin olahan kopi produksi lokal yang selalu dipandang sebelah mata oleh para pengolah kopi yang tergiur merk mesin-mesin kopi terkenal dari negara lain.
Ngopi sendiri memiliki arti sebuah perilaku, kebiasaan atau proses sosialiasi yang ditandai dengan menjadikan kopi sebagai suguhan  ̶  bahkan seringkali bukan kopi  ̶  yang ada dalam Kedai-kedai Kopi. Tidak hanya kopi yang memiliki kisah panjang, ngopi dan tempat ngopinya  ̶  kedai kopi  ̶  sendiri memiliki kisahnya. Mulai dari ngopi yang dipandang sebagai budaya buang-buang waktu, trend ngopi dikalangan milenial yang tak lebih hanya sebagai gaya-gayaan ̶ miskin makna­  ̶  dan tempat ngehits, hingga ngopi yang tidak lagi sebagai tempat berinteraksi dan hanya tempat menumpang leha-leha. Juga nasib Kedai-kedai Kopi lokal yang kalah ramai dengan Kedai Kopi branded asal luar negeri  ̶  padahal kopinya berasal dari negri sendiri  ̶  hingga cafe yang bermodus Kedai Kopi yang otomatis tidak menjual kopi  ̶  atau berbahan dasar kopi.
Maka, baik kita pecinta kopi arabica, robusta, excelsa, liberica, kopi ‘sobek’ atau sachet, kopi susu, kopi impor dan lain sebagainya, mari bersatu!. Kita ramaikan Kedai-kedai kopi sebagai pusat peradaban. Kita gelorakan budaya ngopi sebagai proses sosialisasi, berdiskusi dan mendaras ilmu-ilmu. Kita kobarkan kopi sebagai pendorong gagasan-gagasan kita sehingga berupa aksi.
Bisa kita bayangkan. Segala gagasan yang ada dalam otak kita dapat kita tuangkan dalam cangkir-cangkir kopi, kemudian berekstraksi bersama mengalirnya tuah-tuah dari mulut kita, dan pada akhirnya akan kita teguk dalam-dalam sehingga gagasan tidak akan menguap bercampur polusi, gagasan akan lahir dalam rupa realisasi  ̶  minimal, walau tidak langsung, bisa kita tagihkan di pertemuan selanjutnya.
Bisa juga kita bayangkan, kita dapat memanen buah dari budaya ini. Tidak ada lagi pertentangan berkedok diskusi dalam grup dunia maya yang berujung “keluar grup”, yang berujung nggondok, yang berujung munculnya remah-remah kebencian. Proses sosialisasi dalam ngopi memang nyata dan minim konflik  ̶  untuk tidak menyebut tidak ada konflik  ̶  kita akan dapat menilai secara langsung dari gestur, mimik, intonasi, gerak dan kondisi psikologis lainnya secara nyata dari lawan bicara atau teman dalam bersosialiasi kita.
Dari peristiwa sejarah yang telah kita obrolkan diatas bisa menjadi bentuk penyadaran bagi saya khususnya dan bagi Jamaah Kopiiyah seluruh Jagat Raya  ̶  meskipun kebenaran akan cerita-cerita diatas masih perlu kita cari kebenarannya lagi, tapi minimal bisa menjadi inspirasi. Semoga, dari kita, Kedai Kopi dan budaya ngopi dapat menemukan momentumnya lagi. Dari kita, akan lahir Revolusi Mesir dan Revolusi Perancis versi kita. Semoga, Kedai Kopi dan budaya ngopi bukan hanya sebagai tempat singgah pengumbar nafsu syahwati yang lebih banyak mengundang madhorot daripada manfaah. Mari kembali ke Khittah Kopi. Akhirul kalam, wallahu`alam bi showab. Tabik!




[1] Penyadur merupakan penggemar kopi dan pelaku budaya ngopi. Juga, sebagai Sekretaris Bidang Perkaderan PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta tahun 2016-2017. Termasuk juga, ia bagian dari keluarga Team Hanum Mawar.