Selasa, 18 Juli 2017

Kopi di Perbukitan Menoreh


“Bukan Salah Kopi, tapi Salah Penikmat Kopi yang Salah Menikmati”
Riry, owner dan barista Kedai Riphy

Berbicara kopi, tidak akan pernah habis. Dari kopi masih berbentuk bibit, ditanam, menjadi tunas, berubah pohon, kemudian berbunga, lantas berbiji, kemudian dipanen, hingga sampai pada cangkir-cangkir kita, panjang. Hendak bergaya seperti apa kopi ketika sampai cangkir, maka perlu waktu yang panjang untuk bercerita, dari yang tradisional maupun yang modern. Gaya kopi yang familiar dimasyarakat kita ada tubruk, agak modern lagi ada metode seduh pour-over, aeropress hingga espresso dan espresso-based dll.
Kemarin, 17 Juli 2017, kami sempat berkeliling di 3 kedai kopi seputaran Perbukitan Menoreh, Kulonprogo. Berangkat pagi-pagi, membelah jalanan pinggiran Jogjakarta, bergumul dengan raung kendaraan para manusia pencari nafkah dan pergi kesekolah. Berbekal peta yang ada di gawai, kami bertekad baja bertahan di hawa jogja yang kebetulan hari itu bersuhu 190 Celcius[1]. Atas dasar penasaran, kami akhirnya mewujudkan apa yang pernah terwacanakan.

Kedai Kopi Menoreh Pak Rahmat
Sekira pukul setengah sempilan, kami sampai di kedai kopi pertama, Kedai Kopi Pak Rahmat. Setiba di kedainya, kami disambut oleh tukang bangunan (yang kebetulan sedang merenovasi mushollah di samping kedai) dan dipersilahkan untuk duduk terlebih dahulu. Tidak lama kemudian pemilik kedai sekaligus sebagai shohibul bait, Pak Rahmat, datang dan membawa menu sekaligus berbasa-basi menanyakan asal kami.
Kami melihat menu dan bertanya kopi apa yang spesial dan recommended di kedai, kata pak rahmat robusta dan kopi lanang. Pesan kopi lanang dua sekaligus paket yang ada, yang berisi camilan kampung (kacang rebus, tahu goreng tepung, geblek, singkong rebus). Menu paket tersebut dihargai hanya Rp. 15.000,-. Ada pilihan menu minuman lain sebenarnya, seperti kopi arabika, teh, susu, kopi susu dll. Juga ada menu makanan lain, baik berat maupun camilan, seperti pisang goreng, mie rebus/goreng, inkung ayam kampung dll.
Sembari menunggu pesanan datang, kami sedikit berkeling disekitaran kedai. Ada beberapa pohon kopi, yang kami taksir adalah jenis robusta. Beberapa pohon kopi masih ada yang berbuah dan merah. Di samping beberapa pohon kopi tersebut, ada petunjuk arahterbuat dari kayu yang menunjukkan kearah kebun kopi. Sayangnya, kami tidak terlalu tertarik ke kebun kopinya. Kata pak rahmat, kebun bisa ditempuh sekitar 10menit dengan berjalan kaki dari kedai.
Saat pesanan datang, kami biarkan sejenak kopinya agar ampasnya turun semua. Dalam ekspektasi kami, kopi menoreh terkenal dengan kopi moka, maka yang tercium dan terasa adalah kopi dengan rasa moka. Namun, saat menghirup aroma dan menyeruput pertama kali, ekspektasi biarlah menari dalam benak, walau beberapa kali kami hirup dan sruput. Walau begitu, kami tidak terlalu kecewa, karena rasa kopi tidaklah seburuk apa yang kami bayangkan walau memakai alat tradisional dan diolah secara pribadi oleh Pak Rahmat.
Mungkin adalah sebuah padanan yang pas antara kopi yang masih hangat, camilan yang beragam, udara yang sejuk dengan landscape hijau disekitar kedai. Suasana yang begitu cantik dan menawan dan cocok sebagai “pelarian” dikala penat. Untung ketika kami datang sangatlah sepi, kemungkinan kami adalah pelanggan pertama dipagi itu.

Kedai Kopi Suroloyo
Awalnya kami tidak ada rencana ke kedai ini, namun ketika melihat dan membaca beberapa blog, ternyata Kedai Kopi Pak Rahmat merupakan jalan menuju Puncak Suroloyo. Kebetulan dari beberapa teman pernah bercerita tentang adanya kedai kopi di puncak tertinggu Bukit Menoreh. Sebagaimana pepatah yang pernah kita tahu, Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, maka kami lanjutkan perjalanan dari Kedai Kopi Pak Rahmat menuju Puncak Suroloyo.
Udara yang dingin menusuk tulang dan kabut tebal yang meneduhkan, turut menyambut kami ketika sampai di Puncak Suroloyo. Pas dikawasan Puncak Suroloyo dan parkir motor kami, Kedai Kopi Suroloyo berdiri. Namun, kedai kopi yang kami harapkan ternyata tutup dan keadaan sekitar kawasan wisata tersebut sepi, hanya ada beberapa kios makanan yang buka dan pelanggannya-mungkin supir atau petani sekitar situ. Kabut yang tebal, sehingga membuat kesan mendung, menyelimuti kawasan tersebut. Harapan kami untuk bisa mencicipi kopi khas suroloyo di kedai tersebut seakan pupus. Jauh-jauh datang dan kedinginan, ternyata kedainya tutup.
Tidak lama berselang, saat kami melihat-lihat dan duduk-duduk di sekitaran kedai, kami didatangi oleh seseorang, beliau menanyakan maksud kami dan kamu utarakan maksud kami, yaitu ngopi!. Ternyata seseorang tersebut adalah pemilik kedai tersebut, akhirnya harapan kami tidak jadi pupus. Sembari membuka kedai, beliau memperkenalkan diri, namanya Mas Win (kurang jelas nama panjangnya). Tidak lama, kedai telah buka dan siap untuk menyeduh kopi.
Kami memesan kopi Arabika Suroloyo, kata Mas Win itu kopi khas Suroloyo. Namun, beliau menjelaskan dan memberi kabar buruk, kalau kopi Arabika Suroloyo yang terbaik atau grade A dan biasanya disajikan, telah habis atau tersisa cukup untuk satu cangkir dan sisanya berupa green bean atau belum di roasting. Jadi, kopi yang akan disajikan adalah kopi dengan bukan grad A atau kopi yang grade bawahnya, B. Agak kecewa sebenarnya, namun apalah daya, belum rejeki kami.
Kopi datang dan tersajikan dengan model Tubruk (di kedai Mas Win ini ada model penyeduhan pour-over V60, mokapot dan french press). Mas Win ikut bergabung dengan kami dan kami berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol. Beliau bercerita banyak tentang Kopi Suroloyo. Ternyata sebab Kopi Suroloyo dengan grade A pada saat itu habis adalah karena petani kopi yang gagal panen di tahun ini. ditahun sebelumnya, petani mampu memproduksi 7 Ton, sedangkan di tahun ini hanya menghasilkan sekitar 1 Ton, itupun belum di sortir guna mendapatkan kopi yang berkualitas. Kemungkinan gagal panen karena hujan yang sering dan cuaca yang tidak menentu.
Kopi Suroloyo, kata Mas Win, diolah dengan cara yang bisa dibilang modern, dari merawat pohon kopi, memetik biji, proses pasca-panen hingga roasting atau menyangrai kopi. Proses pasca-panen biasanya menggunakan metode natural, fullwashed dan honey. Dan untuk me-roasting, Mas Win rela “turun gunung” ke Kota Jogja, karena menurutnya, kualitasnya bagus dan beliau belum mampu me-roasting sebaik seperti jamak di roastery di Kota Jogja. Dan ternyata, Kopi Suroloyo telah tersebar kurang-lebih di 80 kedai kopi atau kafe. Tersebar di wilayah jawa, sumatera, kalimantan hingga negara tetangga, Malaysia. Sebagian besar di kedai-kedai kopi kota jogja dan dijakarta. Akibat gagal panen ditahun ini, maka untuk sementara, supplay ke kedai-kedai mitra dihentikan. Mas Win tidak berani mengeluarkan atau memasok kopi yang bukan grade A. Alasannya, beliau ingin apa yang diingat setelah merasakan Kopi Suroloyo oleh para penikmat adalah kualitasnya yang baik.
Memang, belum banyak pohon kopi yang ada di sekitar Puncak Suroloyo ini. Bahkan, kata Mas Win, belum ada kebun kopi di sekitar Puncak Suroloyo, yang ada hanyalah pohon-pohon kopi yang seperti liar, tidak tumbuh teratur satu lokasi, rata-rata satu rumah memiliki beberapa pohon kopi di sekitar ladang atau rumahnya. Pantaslah, saat kami naik menuju Kedai Kopi Suroloyo, banyak kami jumpai pohon-pohon kopi dipinggir jalan. Namun bukan berati petani kopi tidak ingin menanam kopi dengan teratur, kabarnya saat ini Mas Win dan kelompok petaninya (yang menghasilkan Kopi Suroloyo), sedang mempersiapkan bibit kopi terbaik suroloyo dan ditanam disatu kebun, dan ditaksir oleh Mas Win satu-dua tahun kedepan, akan panen kopi dengan sistem berkebun. Mas Win mengakui, bahwa dia agak menyesal karena terlambat sadar akan dunia kopi, baru ditahun 2010 beliau memulai merintis Kopi Suroloyo dan ditahun 2013 membuka Kedai Kopi Suroloyo.
Untuk menebus sedikit kekecewaan kami yang tidak kebagian kopi terbaik Suroloyo, Mas Win menghadiahi kami gelang yang terbuat dari biji kopi yang dirangkai dengan tali yang elastis. Kabarnya, itu adalah sisa dari stok liburan lebaran kemarin yang laris diburu oleh wisatawan Puncak Suroloyo. Memang, banyak wisatawan yang berlibur ke Puncak Suroloyo yang mampir ke kedainya Mas Win, Kedai Kopi Suroloyo. Seperti siang kemarin, 3 orang wisatawan dari amerika datang dan mencoba kopi hasil seduhan Mas Win, tentu dengan jujur Mas Win mengabarkan kalau yang sedang diseduhnya bukanlah Kopi Arabika Suroloyo yang grade A. Wisatawan amerika tersebut memesan robusta, dan yang satu tetap memesan arabika.
Sembari menunggu kopi yang sedang diseduh, wisatawan amerika tersebut-bule, mereka bertanya-tanya tentang Kopi Suroloyo kepada Mas Win. Dari ketiga bule tersebut, ada satu orang yang berperan sebagai guide dan penerjemah, ternyata dia telah lama tinggal di indonesia, 15 tahun. Bule yang telah lama tinggal di Indonesia bersama anak-istrinya dan tinggal di Salatiga adalah Jhon. Satunya, cowok muda yang bernama Joshua, ia mengaku pernah bekerja sebagai barista di Starbuck. Satunya lagi adalah cewek, mungkin pacarnya Joshua. Mereka bertiga sebenarnya rombongan, namun yang lainnya entah kemana.
Selain menyapa dan berbincang dengan Mas Win tentang kopi, bule-bule tersebut juga menyapa kami. Menanyakan nama, kuliah atau bekerja, kuliah dimana, asalnya dari mana, dll. Nah, setelah sesi perkenalan yang sebagaimana mestinya itu, kami diajak berdiskusi panjang dan lebar. Hampir 3 jam kami ngobrol, berdiskusi dengan tema yang lumayan berat, yaitu Agama. Ya, kami diajak berdiskusi tentang agama kami dan mereka, Islam dan Nasrani. Tentang materi-materi dasar, yang tinggi hingga yang mainstream-dosa, pahala, akhirat, neraka, surga, ibadah, kenabian, kehidupan sosial antar umat beragama, terorisme dll (lebih lengkapnya, mungkin akan ditulis di kesempatan selanjutnya). Kami bergantian, awalnya kami yang Islam ini dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan, kemudian mereka meminta ijin kepada kami untuk mengutarakan pendapat mereka dari apa yang kami sampaikan. Cukup menarik memang dan semakin membuka cakrawala pikiran kami dan mereka. Tentu, dalam berdiskusi, kami dipandu dan diterjemahkan oleh Pak Jhon, karena keterbatasan kemampuan bahasa kami.
Sebenarnya kami masih ingin berdikusi lebih lanjut, namun waktulah yang membatasi kita. Ditutup dengan foto bersama, antara kami dan mereka, dengan latar hijaunya pemandangan Puncak Suroloyo. Juga mereka tidak lupa membeli oleh-oleh Kopi Robusta Suroloyo dan Teh Suroloyo di kedainya Mas Win. Sembari memberi salam perpisahan, yang kami ingat hanyalah ucapan “see you next time”, “”nice too meet you”, “bye-bye”, kita mengakhiri ngopi siang itu.

Kedai Kopi Moka Bu Mar
Ketika berpamitan untuk pulang dengan Mas Win, kami disarankan untuk mampir ke kedai Kopi Moka Bu Mar oleh Mas Win. Saran tersebut adalah respon dari Mas Win tentang maksud kami datang ke perbukitan Menoreh, menjajal kopi yang ada di sekitar Suroloyo. Ternyata kedai Kopi Moka Bu Mar adalah jalan pulang kita dan tidak jauh dari Kedai Kopi Pak Rahmat yang telah kami kunjungai sebelum Kedai Kopi Suroloyo. Jaraknya pun kurang lebih hanya 1 sampai 2 km dari Kedai Kopi Pak Rahmat.
Dengan mengikuti petunjuk jalan dan bertanya kepada salahsatu warga, sampailah kami di Kedai Kopi Moka Bu Mar dan disambut oleh Bu Mar sendiri. Segeralah kami memesan, 2 kopi arabika moka dan camilan-geblek dan tempe goreng. Suasananya tidak jauh beda dengan Kedai Kopi Pak Rahmat. Yang membedakan mungkin, dibelakang kedai terlihat kebun kopi yang kecil. Tidak lama kemudian, kopi dan pesanan kami datang. Soal rasa dan aroma kopi, tidak jauh berbeda dengan kopi di kedai Pak Rahmat, hanya saja aroma dan rasa moka dari kopi Bu Mar lebih terasa. Sama-sama diolah dengan tradisional. 

Geliat Kopi di Perbukitan Menoreh
Di sekitaran Perbukitan Menoreh-menuju Puncak Suroloyo, kita akan banyak melihat pohon-pohon kopi tumbuh liar seperti pohon talok/kersem/keres pinggir-pinggir jalan. Juga, disebagian jalan-jalan yang kita lewati, banyak warga yang sedang menjemur buah kopi, juga di depan rumah dan diatas atap-genting rumah. Di pohon-pohon kopi, baik yang dipinggir-pinggir jalan, di depan/samping rumah, atau di antara rimbun semak dan tanaman lainnya, kan banyak di jumpai buah cerry kopi yang merah marun, siap untuk dipetik.
Dalam perjalanan ke beberapa kedai kopi di perbukitan Menoreh, kami banyak mendapat pengetahuan, terutama tentang kopi. Mengobrol panjang-lebar dengan Mas Win tentang kopi, khususnya di Suroloyo, juga ketika kami diajak untuk menjemur kopi, sebagai proses pasca-panen metode natural, kami tahu tentang susah-payahnya petani menyediakan kopi yang terbaik untuk penikmatnya. Bahkan, kata Mas Win, dalam proses pasca-panen metode natural, membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menjadi green bean, itu dengan syarat kalau cuaca sedang baik. Kalau cuaca tidak baik atau tidak ada panas, bisa jadi proses pasca-panen akan gagal. belum lagi, musibah gagal panen yang menimpa petani seperti tahun ini, menambah beban kesedihan.
Kopi Suroloyo memang perlu di apresiasi, supaya petani semakin sejahtera dan mandiri. Sebagimana Mas Win bilang tentang kehadiran Kopi di Perbukitan Menoreh, bahkan sampai kakek-neneknya beliau, tidak tahu sejak kapan pohon-pohon kopi ada dan hadir di Perbukitan Menoreh. Jadi, kopi di Perbukitan Menoreh merupakan anugerah yang perlu dilestarikan dan diproses dengan baik. Dan semoga, kedepannya, dunia per-kopi-an di Perbukitan Menoreh dapat bersaing dengan kopi-kopi lainnya, semacam gayo, kintamani, mandheling, dll. Dan semoga kita semakin menghargai kopi. Tabik!


[1] Menurut data aplikasi Accuweather

Sabtu, 03 Juni 2017

Afi, Naufal dan Awkarin : Pernik bangsa yang pernah silap.

Kalau kita memperhatikan dengan jeli geliat per-sosmed-an indonesia dewasa ini, barangkali dosa-dosa kita terbantu menyusut karena kerapnya kita mengelus dada dan menyebut istighfar. Atau malah dosa semakin menggunung gegara sering misuh-misuh tidak karuan. Entah apapun sikap kita, kita memang patut tidak menutup mata-hati ihwal kondisi ini, kondisi dunia per-sosmed-an kita. Segala hiruk-pikuk indonesia seakan ditentukan oleh gemuruhnya sosmed dan keresahan kita seolah dipermainkan olehnya.
Dewasa ini, di dunia per-sosmed-an ramai gunjing tentang keabsahan tulisan dari seorang bocah baru lulus SMA yang tulisannya sering dipandang berbobot, mempunyai ruh, mengisyaratkan kedewasaan, dan memancarkan kebermanfaatan. Gunjingannya bermula (kalau tidak salah) ketika si anak lugu ini mengomentari tentang kasak-kusuk negeri ini, tulisan yang berjudul Warisan terduga sebagai bukan tulisan asli atau tulisan bukan buatan sendiri si dedek ini. Belum lagi, tidak sedikit yang mempermasalahkan perihal matan atau redaksi, isi atau kandungan, makna tersirat-tersurat dan tetekbengek lainnya dari tulisan yang berasal dari status facebook gadis ini. Gadis ini dikenal dengan nama Afi Nihaya Faradisa, dara dari kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur.
Tulisan gadis ini memang mengisyaratkan kedewasaan dari seorang bocah (beberapa tulisannya bisa kalian nikmati di Kumparan “5 Status Inspiratif Afi Nihaya Faradisa yang Viral”). Akibatnya, banyak yang memuji sekalian memberi apresisasi. Ia diundang menjadi narasumber di Universitas Gajah Mada (UGM), di acara-acara lainnya, distasiun-stasiun televisi, diradio-radio dan seabrek media lainnya. Tapi, yang tidak kalah kerennya, dara tersebut diundang oleh Yang Mulia Presiden RI ke-8, Bapak Joko Widodo, ke Istana Negara, untuk menghadiri upacara Peringatan Hari Pancasila. Yang tidak kalah penting, Afi diajak duduk dan ngobrol bersama Bapak Negara, ngajak selfie lagi.
Tapi banyak juga yang “tidak terima”. Pasalnya, tulisan dia dianggap tidak orisinil, plagiat, tidak dari pemikiran sendiri. Mereka mempermasalahkan mengapa malah memberi apresiasi yang lebih terhadap pelaku plagiat, pembuat karya tidak orisinil. Bahkan, ketika dara tersebut menjadi narasumber di UGM, banyak yang tidak terima. Alasannya beragam, salahsatunya dia dipandang tidak cocok ngisi di kampus yang notabenenya dunia Mahasiswa atau akademik tinggi, tetiba anak ingusan kemarin sore diundang buat memberi “pencerahan” di “dunia” yang bukan “dunia”nya. Semacam, seperti ada Alien kepilih jadi ketua RW di planet Bumi!.
Tidak sedikit pula kemudian banyak yang membandingkan dengan kehebatan seorang bocah kecil lainnya dari Aceh, namanya Naufal Raziq. Kali ini ia disiarkan menemukan sebuah penemuan mutakhir. Bocah tersebut menemukan energi listrik dari pohon kedondong (salahsatu beritanya bisa ditengok di Jawapos “Kisah Mengagumkan Naufal Raziq, Bocah Aceh Penemu Energi Listrik dari Pohon Kedondong). Meskipun listrik yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan listrik di desanya, dan yang dihasilkan belum sampai keukuran Watt baru Miliwatt. Namun nasibnya tidak begitu “cemerlang” dibanding Afi. Bocah Aceh ini belum atau bahkan tidak diundang oleh Pak Presiden Jokowi ke istana, baru level Menteri dan Panglima TNI yang pernah mengundangnya dan mengajak berdiskusi. Walaupun ini hasil penemuannya sendiri.
Atas dasar itulah kemudian banyak yang membandingkan antar keduanya. Kehebatan antar dua bocah dibawah kata usia dewasa ini di ukur dan ditimbang. Bahkan, kedua kubu pendukung antar klaim kehebatan kedua bocah tersebut. Ada pendapat sepantasnyalah Afi memang mendapat apresiasi yang lebih tinggi sehingga diundang pak Jokowi, dibandingkan Naufal. Sebaliknya, Naufal dipandang tidak begitu hebat atas penemuan mutakhirnya tersebut. Dilain kubu, warganet mempermasalahkan kehadiran Afi di UGM atas dasar ketidak ilmiahan tulisannya, mempermasalahkan Sang Presiden mengundang pelaku Plagiat, media lebih mengagungkan tulisan yang banyak “celah”nya yang ditulis oleh Afi dan seabrek “negativisme” lainnya. Bahkan yang lebih parah, menyeret-nyeret keduanya, Afi dan Naufal, dengan isu bola panas Pilkada DKI yang masih belum usia matang. Duh, dek!
Kita memang patut berkaca. Atas dasar apa kita meremehkan, mencemooh, dan miskin apresiasi terhadap dua bocah yang pengetahuan tentang tisu magic pun saya ragu mereka tahu. Mereka terlalu suci untuk diseret-seret dipusaran perpolitikan kimcil dewasa ini. Terlalu belia untuk mengurusi sumpah-serapah, menampung pisuh-pisuhan, meredam bully-an, Prestasi dan kelebihan diusia yang masih belia mereka lah yang sepatutnya diapresiasi dengan baik. Mereka terlalu dini untuk dikasih umpatan, lebih-lebih dituduh antek komunis!.
Atau masyarakat kita memang mudah kagetan, mudah gumunan, mudah tercengang. Lawong dulu Awkarin menggegerkan dunia per-sosmed-an toh kita sekarang juga biasa-biasa aja. Padahal dandananya gak karu-karuan, umbar ketidaksopanan, buka-bukaan, dan seabrek perilaku “setan” lainnya, Astaghfirullah!. Seakan kita tidak merasa khawatir dan tidak segera mencari solusi atas fenomena cewek kurang kasih sayang ini, semacam ada pembiaran. Padahal jelas-jelas cewek ini jauh dari budaya ketimuran yang arif, bijaksana, sopan, santun, lembut dan tidak “semau gue”. Malah kita sibuk mencari-cari kesalahan dari bocah suci minim dosa ini. Seakan-akan kesilapan kecil dua bocah ini sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat kita di banding bahaya ketidak-jelasan cewek tocil tanpa mutu ini.
Barangkali kita tidak usah lagi mendebatkan kehebatan dua bocah tadi, Afi dan Naufal. Kedua-duanya patut dan wajib mendapat apresiasi tinggi dari kita. Lebih baik memang kita memberi penghargaan dengan sangat atas kehebatan kedua anak ini, Afi dan Naufal. Bagaimana tidak, lewat keduanya kita bisa mengambil kebanggaan dan keteladanan bahwa usia saja belum cukup untuk mengukur kedewasaan. Dari keduanya bisa dijadikan uswatun khasanah generasi lanjut, umur belia bukan alasan untuk tidak mencari dan menebar makna. Urusan kesilapan, kekeliruan atau kekurangan mereka berdua, ya mbok bisa to dibimbing lagi? Usia masih muda sepantasnya memang panjang usia dan tanpa lelah mencari makna.
Setidaknya mereka berdua jauh lebih mending daripada bocah kelewat “dewasa” satunya, yang keblingernya kelewat batas. Namun bagaimanapun juga, awkarin adalah aset bangsa yang perlu dibimbing dan dididik. Toh Awkarin juga pernah membuat bangga Indonesia, pasalnya ia pernah meraih nilai UN SMP tertinggi se-kota Tanjungpinang, Riau tahun 2013. Pernah ya, ingat, pernah!. Wallahu `alam bish showab.


[i] Kader Muhammadiyah tulen yang mencintai kopi dengan sepenuh hati | Tinggal di Kasihan, mBantul | Dari Lamongan, Jatim | 0857-4611-9096 | Fb : facebook.com/aliefyogadh | ig/twit : @aliefyogadh | e : aliefyogadh@gmail.com

Senin, 27 Maret 2017

Khittah Perjuangan Kopi

Sumber http://historia.id/img/foto_berita/103120206-BUDAYA-Kopi-yang-Mengubah-Eropa.jpg
Beungoh singoh geutanyoe jep kupi di keude Meulaboh atawa ulon akan syahid
(besok pagi kita akan minum kopi di kota Meulaboh atau aku akan mati syahid)
Teuku Umar – Pahlawan nasional dari Nangroe Aceh Darussalam

Mungkin kita memang benar-benar butuh ngopi. Atau, mungkin kita memang butuh ngopi benar-benar. Bagaimana tidak, budaya nenek moyang yang akhir ini banyak ditinggalkan. Budaya masa lalu yang sering mendapat stigma negative ̶ buang waktu, lekat dengan pengangguran, pemborosan, gak berguna, dll. Budaya arif yang saat ini mungkin telah direduksi nilainya  ̶  hanya trend, sekedar minum, tempat foto dll. Mungkin itu yang kita perlakukan di warung kopi, atau tempat ngopi lainnya.
Kalau boleh kita menengok sejarah, kita akan menemukan bagaimana kerennya budaya ngopi, kita akan tahu bagaimana kopi bukan hanya minuman hitam pahit itu, kita akan tahu kalau warung kopi bukan hanya tempat untuk menggelak tawa atau menggelar bualan. Kita akan tahu kalau budaya ngopi akan melahirkan buahnya. Warung kopi akan membuahkan perubahan, menggelorakan peradaban dan menggoreskan sejarah. Kopi menggelorakan semangat revolusi. Ngopi pernah membuat resah penguasa, membuat resah para pemuka agama dan membuat resah pencibirnya.
Kopi, cikal revolusi!
Revolusi Mesir tahun 1919. Ketika rakyat Mesir saat itu memukul-mundur negara kolonial Inggris dari negaranya dan mengangkat perdana mentri pertama mereka, Saad Zaghul. Kita akan tahu, bahwa revolusi itu lahir dari kedai kopi, kedai kopi Mitatia, cikalnya jauh sebelum tahun itu. Awalnya datang dari seorang Pria pengelana, ia lahir di Afghanistan, belajar di Persia (Iran), dan punya hobi melanglang buana. Ia telah menjelajah India, Turki, Suriah, dan terakhir di Mesir. Namanya, Syeikh Jamaluddin, orang biasa memanggil Syekh Jamaluddin Al Afghani ̶ karena ia berasal dari Afghanistan. Obrolan-obrolannya di kedai kopi mampu membakar semangat warga mesir untuk mengusir penjajah negaranya. Diantara yang setia datang di kedai mitatia tersebut adalah Syekh Muhamamad Abduh, seorang ulama yang kita kenal sebagai pembaharu.
Selain Syekh Muhammad Abduh, ada dua orang lain yang setia datang, pertama bernama Abdullah al-Nadim, ia mendapat julukan Khathîb al-Tsawrah (Orator Revolusi 1919). Yang kedua, junior Abduh di Universitas Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul, yang kemudian ia menjadi tokoh revolusi dan Perdana Menteri pertama rakyat Mesir. Kedua orang ini memang bisa dijuluki sebagai “singa podium”. Kata-kata sang guru, Syekh Jamaluddin, tertancap kuat di nadi mereka sehingga tidak heran kalau keduanya di sebut sebagai tokoh Revolusi Mesir 1919.
Tidak hanya di Mesir, di Perancis ada yang sebuah kedai kopi bernama Procope. Procope menjadi jujukan para tokoh-tokoh besar dunia ̶ Rousseau, Denis Diderot, dan Napoleon Bonaparte ̶ termasuk juga Voltaire, seorang Filsuf yang bisa dibilang berperan penting dalam Revolusi Perancis. Minuman kopi lah yang banyak mengilhami gagasan-gagasan pencerahan dan pergerakan, termasuk Revolusi Perancis, dari kedai kopi lah Revolusi Perancis dapat di”letuskan”. Konon, Voltaire adalah seorang “pecandu” kopi berat, kabarnya ia mampu menghabiskan 50 cangkir kopi dalam sehari. Jules Michelet, bahkan menyebutkan bahwa kopilah yang mengubah sejarah Perancis. “Kopi, minuman tak memabukkan. Stimulan mental yang kuat, meningkatkan kejernihan otak,” begitu dia kira-kira menyebut kehebatan minuman tersebut.
Kopi sebenarnya banyak melahirkan perubahan sosial. Ketika kopi telah menemukan tempatnya, kopi tidak hanya sebagai barang yang layak dikonsumsi. Lebih dari itu, kopi turut juga terlibat dalam perubahan sosial-politik. Ketika media massa belum menemukan momentumnya, kedai kopi berperan sebagai itu. Kedai kopi berperan sebagai media massa. Berita tersalur dari mulut ke mulut, kabar tersiar dari satu individu ke individu lainnya. Proses dialogis itu terjadi di kedai-kedai kopi. Karena masifnya kedai kopi sebagai media informasi, penguasa-penguasa yang khawatir hal-hal politis dibincangkan di kedai-kedai kopi, mulai ambil ancang-ancang. Tidak sedikit penguasa di beberapa belahan dunia yang mulai resah dan bahkan mengambil tindakan yang lebih extream, melarang beredarnya kopi dan menutup kedai-kedai kopi. Bahkan di Jerman, pada saat itu, penguasanya membuat propaganda bahwa kopi telah menggeser minuman khas Jerman yaitu bir sehingga harus di musnahkan. Namun, segala tabiat buruk para penguasa itu mendapat resitensi dan pertentangan. Banyak masyarakat yang melawan dan tetap menggunakan kedai-kedai kopi sebagai tempat yang nyaman untuk obral-obrol perkara politik dan sosial. Di Eropa, misal, perlawanan itu mendapat puncaknya, gagasan-gagasan yang tertuang di cangkir-cangkir kemudian di telan dalam kedahagaan pergerakan, akhirnya memunculkan buahnya, Revolusi Perancis.
Khittah kopi.
Menurut Salim A Fillah, budaya ngopi sangat akrab di dunia Islam. Ada dua jenis tipe motivasi orang islam dahulu untuk meminum kopi. Kalau tidak digunakan sebagai penjaga agar kantuk tak datang oleh para `Abid, ahli Ibadah, dan menambah kekhusukan dalam bermunajat kepada-Nya. Yang kedua kopi juga digunakan oleh Ahli `Ilmu sebagai pengganjal mata dan penjaga pikir agar mampu menyelami bahtera ilmu dalam buku-buku dengan khusuk.
Sebuah manuskrip tentang budaya Muslim di abad ke-15 menyebutkan, kopi mulai dikenal dalam budaya umat Islam pada sekitar tahun 1400. Kopi itu dibawa masyarakat Yaman dari Ethiopia. Orang Afrika, terutama Ethiopia, telah mengenal kopi sejak tahun 800 SM. Saat itu, mereka mengonsumsi kopi yang dicampur dengan lemak hewan dan anggur untuk memenuhi kebutuhan protein dan energi tubuh.
Sumber lain, yakni kesaksian dari ilmuwan Muslim terkemuka, Al-Razi dan Ibnu Sina, menyatakan kopi telah dikenal di kalangan umat Islam pada awal abad ke-10. Minuman ini pertama kali dinikmati dan dibudidayakan oleh masyarakat Yaman. Mereka menyebut minuman kopi sebagai al-Qahwa. Konon, peminum pertama kopi adalah kaum sufi yang menggunakannya sebagai stimulan agar tetap terjaga selama berzikir pada malam hari. Dari Yaman, keharuman kopi merebak ke berbagai kawasan di sekitarnya, lalu ke Eropa, Amerika, dan akhirnya mendunia. Para pelancong, peziarah, dan pedaganglah yang membawa kopi melanglang buana.
Ibnu Sina sendiri, kabarnya, pernah meneliti sebuah zat kimia yang ada dalam kopi dalam segi kesehatan (kedokteran). Ia menemuka bahwa dalam kopi terdapat zat yang membuat semangat dan memberi energi lebih kepada tubuh. Tidak hanya itu, Ibnu Sina menyebutkan bahwa manfaat kopi dapat menguatkan tubuh, membersihkan kulit dan memberikan bau semerbak untuk sekujur tubuh. Hal ini tercantum dalam dokumennya dalam ilmu kedokteran dan kesehatan yang familiar yaitu Canon Of Medicine. Sebuah dokumen yang menjadi acuan para dokter dan sekolah-sekolah kesehatan Eropa hingga abad ke-19.
Jika kita melihat negri kita sendiri, barangkali peran kopi pada sejarahnya tidak sehebat di Perancis atau di Mesir. Kopi memiliki sejarah yang bisa dikatakan kelam. Di indonesia, kopi tidak lebih hanya komoditas perdagangan oleh penjajah, Belanda, untuk di ekspor ke seluruh Dunia. Kabarnya, Belanda sengaja membawa biji kopi ke Indonesia karena mengetahui geliat bisnis di sektor kopi. Para petani-petani di paksa untuk menanam kopi dan di bayar dengan murah ̶ bahkan tidak dibayar. Itu semua terjadi ketika Belanda menerapkan tanam paksa. Kopi-kopi terbaik dan berani bersaing yang ada di Perancis, Absterdam, Istanbul dll merupakan hasil dari tanam paksa di Indonesia.
Kopi memang membutuhkan perjalanan panjang sebelum sampai pada cangkir-cangkir dan di teguk dalam tenggorokan. Petani harus mempersiapkan lahan tanah yang subur dan iklim yang sesuai. Hingga kopi ditanam, petani juga harus merawatnya, karena karakter kopi akan mudah berubah walau berbeda perlakuan. Petani juga harus menunggu waktu yang cukup lama dari menanam hingga panen. Setelah panen, seharusnya petani merasakan kesejahteraan setelah bersusah payah merawat kualitas kopi. Tapi kenyataan berbeda, setelah panen, petani harus bertemu dengan tengkulak-tengkulak pemeras yang kejam, tamak dan korup. Itulah realitas kelam sejarah kopi di Indonesia ̶ mungkin hingga sekarang. Kopi memang melegenda di Indonesia, tapi keuntungan yang yang didapat sangat rendah jika di padankan dengan peluanganya dalam hal finansial.
Inspirasi, kopi!
Kopi, ngopi dan Kedai Kopi, memang memiliki makna yang berbeda. Namun, ketiganya memiliki satu simpul yang erat, yaitu tentang sebuah kopi. Kopi bisa kita artikan sebuah biji-bijian yang ditanam didataran tinggi, yang memiliki proses panjang mengiringinya dari menanam hingga memanen, dari lembah-lembah hingga kecangkir-cangkir dan tenggorokan. Ada banyak kisah yang terjadi disepanjang perjalanannya, kisah air mata buruh kebun kopi dengan upah yang murah, kisah keringat petani kopi yang berbuah bertemunya dangan tengkulak yang kejam, pelit dan korup. Juga, kisah mesin-mesin olahan kopi produksi lokal yang selalu dipandang sebelah mata oleh para pengolah kopi yang tergiur merk mesin-mesin kopi terkenal dari negara lain.
Ngopi sendiri memiliki arti sebuah perilaku, kebiasaan atau proses sosialiasi yang ditandai dengan menjadikan kopi sebagai suguhan  ̶  bahkan seringkali bukan kopi  ̶  yang ada dalam Kedai-kedai Kopi. Tidak hanya kopi yang memiliki kisah panjang, ngopi dan tempat ngopinya  ̶  kedai kopi  ̶  sendiri memiliki kisahnya. Mulai dari ngopi yang dipandang sebagai budaya buang-buang waktu, trend ngopi dikalangan milenial yang tak lebih hanya sebagai gaya-gayaan ̶ miskin makna­  ̶  dan tempat ngehits, hingga ngopi yang tidak lagi sebagai tempat berinteraksi dan hanya tempat menumpang leha-leha. Juga nasib Kedai-kedai Kopi lokal yang kalah ramai dengan Kedai Kopi branded asal luar negeri  ̶  padahal kopinya berasal dari negri sendiri  ̶  hingga cafe yang bermodus Kedai Kopi yang otomatis tidak menjual kopi  ̶  atau berbahan dasar kopi.
Maka, baik kita pecinta kopi arabica, robusta, excelsa, liberica, kopi ‘sobek’ atau sachet, kopi susu, kopi impor dan lain sebagainya, mari bersatu!. Kita ramaikan Kedai-kedai kopi sebagai pusat peradaban. Kita gelorakan budaya ngopi sebagai proses sosialisasi, berdiskusi dan mendaras ilmu-ilmu. Kita kobarkan kopi sebagai pendorong gagasan-gagasan kita sehingga berupa aksi.
Bisa kita bayangkan. Segala gagasan yang ada dalam otak kita dapat kita tuangkan dalam cangkir-cangkir kopi, kemudian berekstraksi bersama mengalirnya tuah-tuah dari mulut kita, dan pada akhirnya akan kita teguk dalam-dalam sehingga gagasan tidak akan menguap bercampur polusi, gagasan akan lahir dalam rupa realisasi  ̶  minimal, walau tidak langsung, bisa kita tagihkan di pertemuan selanjutnya.
Bisa juga kita bayangkan, kita dapat memanen buah dari budaya ini. Tidak ada lagi pertentangan berkedok diskusi dalam grup dunia maya yang berujung “keluar grup”, yang berujung nggondok, yang berujung munculnya remah-remah kebencian. Proses sosialisasi dalam ngopi memang nyata dan minim konflik  ̶  untuk tidak menyebut tidak ada konflik  ̶  kita akan dapat menilai secara langsung dari gestur, mimik, intonasi, gerak dan kondisi psikologis lainnya secara nyata dari lawan bicara atau teman dalam bersosialiasi kita.
Dari peristiwa sejarah yang telah kita obrolkan diatas bisa menjadi bentuk penyadaran bagi saya khususnya dan bagi Jamaah Kopiiyah seluruh Jagat Raya  ̶  meskipun kebenaran akan cerita-cerita diatas masih perlu kita cari kebenarannya lagi, tapi minimal bisa menjadi inspirasi. Semoga, dari kita, Kedai Kopi dan budaya ngopi dapat menemukan momentumnya lagi. Dari kita, akan lahir Revolusi Mesir dan Revolusi Perancis versi kita. Semoga, Kedai Kopi dan budaya ngopi bukan hanya sebagai tempat singgah pengumbar nafsu syahwati yang lebih banyak mengundang madhorot daripada manfaah. Mari kembali ke Khittah Kopi. Akhirul kalam, wallahu`alam bi showab. Tabik!




[1] Penyadur merupakan penggemar kopi dan pelaku budaya ngopi. Juga, sebagai Sekretaris Bidang Perkaderan PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta tahun 2016-2017. Termasuk juga, ia bagian dari keluarga Team Hanum Mawar.

Senin, 13 Februari 2017

Merindukan beliau, Pak AR

Pak AR, biasa kita menyebut pemimpin kita ini. Seorang pemimpin yang sangat dicintai ummatnya. Pemimpin yang sangat sederhana dan pemimpin yang sangat “membumi”. Sayang, Allah lebih cinta beliau sehingga kini ia telah datang ke haribaan-Nya. Namun, daripadanya kita dapat memperoleh beribu pelajaran hidup, baik yang ia sampaikan secara langsung maupun tidak. Olehnya, beribu tauladan dapat kita petik dari kehidupannya. Ditangannya, islam dibawa dengan sangat sejuk dan damai. Dalam berdakwah, ia memiliki prinsip : Islam harus dibawakan dengan senyum. Tidak heran, ia amat sangat dicintai oleh ummat, baik dari golongan Muhammadiyah maupun diluar Muhammadiyah.
Sikap beliau itu adalah aktualisasi dari hadits Nabi SAW, “Senyummu kepada saudaramu adalah ibadah”. Tidak heran, ketika kita mendengar nama beliau akan terlintas bahwa ia adalah seorang pengabdi ummat yang membawa islam dengan senyum, dengan ramah, dengan santun dan bijak. Kesan itulah yang melekat pada pemimpin kharismatik tersebut. Prinsip beliau tersebutlah yang kemudian membawa pandangan Muhammadiyah, organisasi yang pernah beliau pimpin, sebagai organisasi yang teduh nan damai. Pantas kiranya, Muhammadiyah hingga kini masih diberi kesempatan untuk bersinar lebih lama, walau ketika pada waktu itu sempat terjadi “huru-hara” di saat Orde Baru.
Sikap beliau yang ramah dan humoris itulah yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang pemimpin persyarikatan. Tidak tanggung-tanggung, boleh dikatakan bahwa beliau adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang paling lama menjabat. Hampir seperempat abad, ia memimpin organisasi dakwah ini. Berbagai macam kesukaran yang menimpa Muhammadiyah pada saat itu, dapat diatasi dengan sikap yang ramah, santun humoris itu. Salahsatu contohnya adalah, pada saat tahun 1970 an, era dimana Orde Baru sedang berkuasa. Saat itu, Muhammadiyah sedang di hadapkan oleh pilihan yang sangat dilematis, Muhammadiyah adalah salahsatu tiang penyangga Orde Baru harus dihadapkan oleh pilihan antara asas tunggal/Pancasila atau asas Islam. Dengan mempertimbangkan semuanya baik dengan jalan diskusi maupun berkonsultasi, akhirnya Muhammadiyah, lewat Pak AR, merumuskan kiat sederhana dan jitu. Bahwa penerimaan Muhammadiyah terhadap asas tunggal/Pancasila didasarkan pada komitmen rakyat terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Pak AR mengibaratkan pilihan tersebut seperti “Politik Helm” –siapapun yang akan mengendarai sepeda motor di jalan raya, diwajibkan untuk mengenakan helm, sebagai prasyarat keselamatan. Kebijakan dan kemampuan mengelola Muhammadiyah pada masa yang sukar itulah menandakan akan daya tanggap dari beliau yang luwes, santun, sederhana dan kekuatan kepribadian beliau.
Disamping sisi beliau yang ramah, humoris dan suka senyum, beliau juga dikenal dengan seorang ulama yang sederhana, ikhlas dan bersahaja. Konon, beliau pernah ditawari menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun beliau tolak, beliau ditawari mobil oleh suatu perusahaan, beliau tolak. Beliau pernah ditawari menjadi menteri oleh Presiden Soeharto, namun beliau tolak. Bahkan, dalam sebuah riwayat salahsatunya tentang beliau, seorang ulama, pemimpin, orang terpandang namun sampai akhir hayatnya beliau tidak memiliki rumah. Beliau selama itu hanya mengontrak rumah aset dari Muhammadiyah. Walaupun, beliau pernah menyicil sebuah rumah namun beliau ditipu pengembang, uang cicilannya di gelapkan oleh pengembang, beliau tetap bersahaja.
Budayawan kondang, Emha Ainun Najib, pernah mengungkapkan kekagumannya terhadap guru besar itu “Sedemikian melimpah rezeki dari Allah kepada Pak AR sehingga kehidupan beliau hampir sama sekali tidak bergantung kepada barang-barang dunia”. Bisakah kita berpikir logis, ditengah era dimana sebuah jabatan adalah lahan garap penyubur kantong, Pak AR dengan bersahajanya, adalah seorang penjual bensin eceran di depan rumahnya. Bisakah kemudian kita bayangkan, beliau adalah pemimpin yang memimpin ummat berpuluh-puluh juta, memimpin organisasi yang memiliki beribu lembaga pendidikan dan kesehatan, yang dengan kepemimpinannya beliau bisa saja memanfaatkan posisinya untuk “mensejahterakan” hidupnya namun beliau hanya memiliki motor butut yang sering mogok.
Pak AR, yang memiliki nama panjang Abdul Rozak Fachruddin, adalah seorang pemimpin, ulama, guru yang kehidupannya patut kita jadikan tauladan. Semangat dan militansi beliau dalam berdakwah adalah uswah yang memang harus selalu kita contoh. Ditengah kondisi keindonesiaan yang kini bisa kita bilang mengalami krisis kepemimpinan, nampaknya merindukan sosok Pak AR bukanlah sebuah ketidakniscayaan. Memimpikan pemimpin yang sederhana, ikhlas, bersahaja, dan membumi mungkin sangat sulit kita dapatkan hari-hari ini. Nampaknya, kehadiran sosok pemimpin yang seperti beliau di saat bangsa mengalami masa yang bisa dibilang sulit, bak oase di tengah gurun yang terik dan tandus. Dibutuhkan sosok pemimpin yang dapat mencari jalan keluar di tengah permasahalan dengan jitu, sederhana dan memiliki kepribadian yang kuat.
Tidak salah, kini nama beliau diabadikan menjadi identitas sebuah organisasi kemahasiswaan Muhammadiyah di Yogyakarta. Namanya kini di pakai sebagai tanda kekaguman, cinta dan kasih kepada beliau, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Abdul Razak Fakhruudin Kota Yogyakarta. Entah bagaimana awal-mula founding father Pimpinan Cabang IMM AR Fakhruudin menggunakan nama beliau sebagai identitas organisasi. Mungkin, harapannya dari kawah inilah lahir pribadi-pribadi yang seperti Pak AR. Dari beliau, Pak AR, kesederhanaan, keikhlasan dan kebersahajaan adalah tauladan dalam berjuang di organisasi. Dari beliau, Pak AR, dapat menjadi contoh kita dalam mengemban misi di dunia sebagai Kholifatullah fi Al Ardli sehingga terwujud apa yang kita cita-citakan yaitu Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofurun –Negeri yang baik dengan Robb yang Maha Pengampun.
Kini tepat 14 Februari, Kiai Sufi ini, lebih satu abad dilahirkan dibumi sebagai kholifatullah. Tabik!