“Bukan Salah Kopi, tapi Salah Penikmat Kopi yang Salah Menikmati”
Riry, owner dan barista Kedai Riphy
Berbicara
kopi, tidak akan pernah habis. Dari kopi masih berbentuk bibit, ditanam,
menjadi tunas, berubah pohon, kemudian berbunga, lantas berbiji, kemudian
dipanen, hingga sampai pada cangkir-cangkir kita, panjang. Hendak bergaya
seperti apa kopi ketika sampai cangkir, maka perlu waktu yang panjang untuk
bercerita, dari yang tradisional maupun yang modern. Gaya kopi yang familiar dimasyarakat
kita ada tubruk, agak modern lagi ada metode seduh pour-over, aeropress
hingga espresso dan espresso-based dll.
Kemarin,
17 Juli 2017, kami sempat berkeliling di 3 kedai kopi seputaran Perbukitan
Menoreh, Kulonprogo. Berangkat pagi-pagi, membelah jalanan pinggiran Jogjakarta,
bergumul dengan raung kendaraan para manusia pencari nafkah dan pergi
kesekolah. Berbekal peta yang ada di gawai, kami bertekad baja bertahan di hawa
jogja yang kebetulan hari itu bersuhu 190 Celcius[1]. Atas
dasar penasaran, kami akhirnya mewujudkan apa yang pernah terwacanakan.
Kedai
Kopi Menoreh Pak Rahmat
Sekira
pukul setengah sempilan, kami sampai di kedai kopi pertama, Kedai Kopi Pak
Rahmat. Setiba di kedainya, kami disambut oleh tukang bangunan (yang kebetulan
sedang merenovasi mushollah di samping kedai) dan dipersilahkan untuk duduk
terlebih dahulu. Tidak lama kemudian pemilik kedai sekaligus sebagai shohibul
bait, Pak Rahmat, datang dan membawa menu sekaligus berbasa-basi menanyakan
asal kami.
Kami
melihat menu dan bertanya kopi apa yang spesial dan recommended di kedai, kata
pak rahmat robusta dan kopi lanang. Pesan kopi lanang dua sekaligus paket yang
ada, yang berisi camilan kampung (kacang rebus, tahu goreng tepung, geblek,
singkong rebus). Menu paket tersebut dihargai hanya Rp. 15.000,-. Ada pilihan
menu minuman lain sebenarnya, seperti kopi arabika, teh, susu, kopi susu dll. Juga
ada menu makanan lain, baik berat maupun camilan, seperti pisang goreng, mie
rebus/goreng, inkung ayam kampung dll.
Sembari
menunggu pesanan datang, kami sedikit berkeling disekitaran kedai. Ada beberapa
pohon kopi, yang kami taksir adalah jenis robusta. Beberapa pohon kopi masih
ada yang berbuah dan merah. Di samping beberapa pohon kopi tersebut, ada
petunjuk arahterbuat dari kayu yang menunjukkan kearah kebun kopi. Sayangnya,
kami tidak terlalu tertarik ke kebun kopinya. Kata pak rahmat, kebun bisa
ditempuh sekitar 10menit dengan berjalan kaki dari kedai.
Saat
pesanan datang, kami biarkan sejenak kopinya agar ampasnya turun semua. Dalam ekspektasi
kami, kopi menoreh terkenal dengan kopi moka, maka yang tercium dan terasa
adalah kopi dengan rasa moka. Namun, saat menghirup aroma dan menyeruput
pertama kali, ekspektasi biarlah menari dalam benak, walau beberapa kali kami
hirup dan sruput. Walau begitu, kami tidak terlalu kecewa, karena rasa kopi
tidaklah seburuk apa yang kami bayangkan walau memakai alat tradisional dan
diolah secara pribadi oleh Pak Rahmat.
Mungkin
adalah sebuah padanan yang pas antara kopi yang masih hangat, camilan yang
beragam, udara yang sejuk dengan landscape hijau disekitar kedai. Suasana
yang begitu cantik dan menawan dan cocok sebagai “pelarian” dikala penat. Untung
ketika kami datang sangatlah sepi, kemungkinan kami adalah pelanggan pertama
dipagi itu.
Kedai
Kopi Suroloyo
Awalnya
kami tidak ada rencana ke kedai ini, namun ketika melihat dan membaca beberapa
blog, ternyata Kedai Kopi Pak Rahmat merupakan jalan menuju Puncak Suroloyo. Kebetulan
dari beberapa teman pernah bercerita tentang adanya kedai kopi di puncak
tertinggu Bukit Menoreh. Sebagaimana pepatah yang pernah kita tahu, Sekali merengkuh
dayung dua tiga pulau terlampaui, maka kami lanjutkan perjalanan dari Kedai
Kopi Pak Rahmat menuju Puncak Suroloyo.
Udara
yang dingin menusuk tulang dan kabut tebal yang meneduhkan, turut menyambut
kami ketika sampai di Puncak Suroloyo. Pas dikawasan Puncak Suroloyo dan parkir
motor kami, Kedai Kopi Suroloyo berdiri. Namun, kedai kopi yang kami harapkan
ternyata tutup dan keadaan sekitar kawasan wisata tersebut sepi, hanya ada
beberapa kios makanan yang buka dan pelanggannya-mungkin supir atau petani sekitar situ. Kabut yang tebal, sehingga
membuat kesan mendung, menyelimuti kawasan tersebut. Harapan kami untuk bisa
mencicipi kopi khas suroloyo di kedai tersebut seakan pupus. Jauh-jauh datang
dan kedinginan, ternyata kedainya tutup.
Tidak
lama berselang, saat kami melihat-lihat dan duduk-duduk di sekitaran kedai,
kami didatangi oleh seseorang, beliau menanyakan maksud kami dan kamu utarakan
maksud kami, yaitu ngopi!. Ternyata seseorang tersebut adalah pemilik
kedai tersebut, akhirnya harapan kami tidak jadi pupus. Sembari membuka kedai,
beliau memperkenalkan diri, namanya Mas Win (kurang jelas nama panjangnya). Tidak
lama, kedai telah buka dan siap untuk menyeduh kopi.
Kami
memesan kopi Arabika Suroloyo, kata Mas Win itu kopi khas Suroloyo. Namun,
beliau menjelaskan dan memberi kabar buruk, kalau kopi Arabika Suroloyo yang
terbaik atau grade A dan biasanya disajikan, telah habis atau tersisa
cukup untuk satu cangkir dan sisanya berupa green bean atau belum di roasting.
Jadi, kopi yang akan disajikan adalah kopi dengan bukan grad A atau kopi
yang grade bawahnya, B. Agak kecewa sebenarnya, namun apalah daya, belum rejeki
kami.
Kopi
datang dan tersajikan dengan model Tubruk (di kedai Mas Win ini ada model
penyeduhan pour-over V60, mokapot dan french press). Mas Win ikut bergabung
dengan kami dan kami berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol. Beliau bercerita
banyak tentang Kopi Suroloyo. Ternyata sebab Kopi Suroloyo dengan grade A pada
saat itu habis adalah karena petani kopi yang gagal panen di tahun ini. ditahun
sebelumnya, petani mampu memproduksi 7 Ton, sedangkan di tahun ini hanya menghasilkan
sekitar 1 Ton, itupun belum di sortir guna mendapatkan kopi yang berkualitas. Kemungkinan
gagal panen karena hujan yang sering dan cuaca yang tidak menentu.
Kopi
Suroloyo, kata Mas Win, diolah dengan cara yang bisa dibilang modern, dari
merawat pohon kopi, memetik biji, proses pasca-panen hingga roasting
atau menyangrai kopi. Proses pasca-panen biasanya menggunakan metode natural,
fullwashed dan honey. Dan untuk me-roasting, Mas Win rela “turun
gunung” ke Kota Jogja, karena menurutnya, kualitasnya bagus dan beliau belum
mampu me-roasting sebaik seperti jamak di roastery di Kota Jogja. Dan ternyata,
Kopi Suroloyo telah tersebar kurang-lebih di 80 kedai kopi atau kafe. Tersebar di
wilayah jawa, sumatera, kalimantan hingga negara tetangga, Malaysia. Sebagian besar
di kedai-kedai kopi kota jogja dan dijakarta. Akibat gagal panen ditahun ini,
maka untuk sementara, supplay ke kedai-kedai mitra dihentikan. Mas Win tidak
berani mengeluarkan atau memasok kopi yang bukan grade A. Alasannya, beliau
ingin apa yang diingat setelah merasakan Kopi Suroloyo oleh para penikmat adalah
kualitasnya yang baik.
Memang,
belum banyak pohon kopi yang ada di sekitar Puncak Suroloyo ini. Bahkan, kata
Mas Win, belum ada kebun kopi di sekitar Puncak Suroloyo, yang ada hanyalah
pohon-pohon kopi yang seperti liar, tidak tumbuh teratur satu lokasi, rata-rata
satu rumah memiliki beberapa pohon kopi di sekitar ladang atau rumahnya. Pantaslah,
saat kami naik menuju Kedai Kopi Suroloyo, banyak kami jumpai pohon-pohon kopi
dipinggir jalan. Namun bukan berati petani kopi tidak ingin menanam kopi dengan
teratur, kabarnya saat ini Mas Win dan kelompok petaninya (yang menghasilkan
Kopi Suroloyo), sedang mempersiapkan bibit kopi terbaik suroloyo dan ditanam
disatu kebun, dan ditaksir oleh Mas Win satu-dua tahun kedepan, akan panen kopi
dengan sistem berkebun. Mas Win mengakui, bahwa dia agak menyesal karena
terlambat sadar akan dunia kopi, baru ditahun 2010 beliau memulai merintis Kopi
Suroloyo dan ditahun 2013 membuka Kedai Kopi Suroloyo.
Untuk
menebus sedikit kekecewaan kami yang tidak kebagian kopi terbaik Suroloyo, Mas
Win menghadiahi kami gelang yang terbuat dari biji kopi yang dirangkai dengan
tali yang elastis. Kabarnya, itu adalah sisa dari stok liburan lebaran kemarin
yang laris diburu oleh wisatawan Puncak Suroloyo. Memang, banyak wisatawan yang
berlibur ke Puncak Suroloyo yang mampir ke kedainya Mas Win, Kedai Kopi
Suroloyo. Seperti siang kemarin, 3 orang wisatawan dari amerika datang dan
mencoba kopi hasil seduhan Mas Win, tentu dengan jujur Mas Win mengabarkan
kalau yang sedang diseduhnya bukanlah Kopi Arabika Suroloyo yang grade A.
Wisatawan amerika tersebut memesan robusta, dan yang satu tetap memesan
arabika.
Sembari
menunggu kopi yang sedang diseduh, wisatawan amerika tersebut-bule, mereka bertanya-tanya tentang Kopi Suroloyo kepada Mas Win. Dari
ketiga bule tersebut, ada satu orang yang berperan sebagai guide dan
penerjemah, ternyata dia telah lama tinggal di indonesia, 15 tahun. Bule yang
telah lama tinggal di Indonesia bersama anak-istrinya dan tinggal di Salatiga
adalah Jhon. Satunya, cowok muda yang bernama Joshua, ia mengaku pernah bekerja
sebagai barista di Starbuck. Satunya lagi adalah cewek, mungkin pacarnya
Joshua. Mereka bertiga sebenarnya rombongan, namun yang lainnya entah kemana.
Selain
menyapa dan berbincang dengan Mas Win tentang kopi, bule-bule tersebut juga
menyapa kami. Menanyakan nama, kuliah atau bekerja, kuliah dimana, asalnya dari
mana, dll. Nah, setelah sesi perkenalan yang sebagaimana mestinya itu, kami
diajak berdiskusi panjang dan lebar. Hampir 3 jam kami ngobrol, berdiskusi
dengan tema yang lumayan berat, yaitu Agama. Ya, kami diajak berdiskusi tentang
agama kami dan mereka, Islam dan Nasrani. Tentang materi-materi dasar, yang tinggi
hingga yang mainstream-dosa,
pahala, akhirat, neraka, surga, ibadah, kenabian, kehidupan sosial antar umat
beragama, terorisme dll (lebih lengkapnya, mungkin akan ditulis di kesempatan
selanjutnya). Kami bergantian, awalnya kami yang Islam ini dicecar
dengan pertanyaan-pertanyaan, kemudian mereka meminta ijin kepada kami untuk
mengutarakan pendapat mereka dari apa yang kami sampaikan. Cukup menarik memang
dan semakin membuka cakrawala pikiran kami dan mereka. Tentu, dalam berdiskusi,
kami dipandu dan diterjemahkan oleh Pak Jhon, karena keterbatasan kemampuan
bahasa kami.
Sebenarnya
kami masih ingin berdikusi lebih lanjut, namun waktulah yang membatasi kita. Ditutup
dengan foto bersama, antara kami dan mereka, dengan latar hijaunya pemandangan
Puncak Suroloyo. Juga mereka tidak lupa membeli oleh-oleh Kopi Robusta Suroloyo
dan Teh Suroloyo di kedainya Mas Win. Sembari memberi salam perpisahan, yang
kami ingat hanyalah ucapan “see you next time”, “”nice too meet you”, “bye-bye”,
kita mengakhiri ngopi siang itu.
Kedai
Kopi Moka Bu Mar
Ketika
berpamitan untuk pulang dengan Mas Win, kami disarankan untuk mampir ke kedai
Kopi Moka Bu Mar oleh Mas Win. Saran tersebut adalah respon dari Mas Win
tentang maksud kami datang ke perbukitan Menoreh, menjajal kopi yang ada di
sekitar Suroloyo. Ternyata kedai Kopi Moka Bu Mar adalah jalan pulang kita dan
tidak jauh dari Kedai Kopi Pak Rahmat yang telah kami kunjungai sebelum Kedai
Kopi Suroloyo. Jaraknya pun kurang lebih hanya 1 sampai 2 km dari Kedai Kopi
Pak Rahmat.
Dengan
mengikuti petunjuk jalan dan bertanya kepada salahsatu warga, sampailah kami di
Kedai Kopi Moka Bu Mar dan disambut oleh Bu Mar sendiri. Segeralah kami
memesan, 2 kopi arabika moka dan camilan-geblek dan tempe goreng. Suasananya tidak jauh beda dengan Kedai
Kopi Pak Rahmat. Yang membedakan mungkin, dibelakang kedai terlihat kebun kopi
yang kecil. Tidak lama kemudian, kopi dan pesanan kami datang. Soal rasa dan
aroma kopi, tidak jauh berbeda dengan kopi di kedai Pak Rahmat, hanya saja
aroma dan rasa moka dari kopi Bu Mar lebih terasa. Sama-sama diolah dengan
tradisional.
Geliat
Kopi di Perbukitan Menoreh
Di sekitaran
Perbukitan Menoreh-menuju
Puncak Suroloyo, kita akan banyak melihat pohon-pohon kopi tumbuh liar seperti
pohon talok/kersem/keres pinggir-pinggir jalan. Juga, disebagian
jalan-jalan yang kita lewati, banyak warga yang sedang menjemur buah kopi, juga
di depan rumah dan diatas atap-genting rumah. Di pohon-pohon kopi, baik yang
dipinggir-pinggir jalan, di depan/samping rumah, atau di antara rimbun semak
dan tanaman lainnya, kan banyak di jumpai buah cerry kopi yang merah marun,
siap untuk dipetik.
Dalam
perjalanan ke beberapa kedai kopi di perbukitan Menoreh, kami banyak mendapat
pengetahuan, terutama tentang kopi. Mengobrol panjang-lebar dengan Mas Win
tentang kopi, khususnya di Suroloyo, juga ketika kami diajak untuk menjemur
kopi, sebagai proses pasca-panen metode natural, kami tahu tentang
susah-payahnya petani menyediakan kopi yang terbaik untuk penikmatnya. Bahkan,
kata Mas Win, dalam proses pasca-panen metode natural, membutuhkan waktu
sekitar satu bulan untuk menjadi green bean, itu dengan syarat kalau
cuaca sedang baik. Kalau cuaca tidak baik atau tidak ada panas, bisa jadi
proses pasca-panen akan gagal. belum lagi, musibah gagal panen yang menimpa
petani seperti tahun ini, menambah beban kesedihan.
Kopi
Suroloyo memang perlu di apresiasi, supaya petani semakin sejahtera dan
mandiri. Sebagimana Mas Win bilang tentang kehadiran Kopi di Perbukitan Menoreh,
bahkan sampai kakek-neneknya beliau, tidak tahu sejak kapan pohon-pohon kopi
ada dan hadir di Perbukitan Menoreh. Jadi, kopi di Perbukitan Menoreh merupakan
anugerah yang perlu dilestarikan dan diproses dengan baik. Dan semoga,
kedepannya, dunia per-kopi-an di Perbukitan Menoreh dapat bersaing dengan
kopi-kopi lainnya, semacam gayo, kintamani, mandheling, dll. Dan semoga kita
semakin menghargai kopi. Tabik!