Notulensi NGOBOOK :
Bedah buku : PETANI VS NEGARA - Dr. MUSTAIN
Pemantik : Fajri "boncel" Fauzi (kader IMM FP UMY 2013)
Notulensi oleh : Imam Fakhruroji (kader IMM FISIPOL UMY 2013)
Bedah buku : PETANI VS NEGARA - Dr. MUSTAIN
Pemantik : Fajri "boncel" Fauzi (kader IMM FP UMY 2013)
Notulensi oleh : Imam Fakhruroji (kader IMM FISIPOL UMY 2013)
Tempat di Angkringan Tamanan Banguntaman Bantul
Sepanjang sejarah bangsa, konflik
pertanahan memang selalu menyeruak di negeri agraris ini. Dari rekaman berbagai
kasus sengketa tanah yang pernah ada, mulai dari zaman pemerintahan kolonial
Hindia Belanda hingga rezim orde baru , mulai dari kasus Cilegon Banten (1888),
Cimacan Bandung (1989), Jenggawah Jember (1995), hingga Kalibakar Malang
Selatan (1997), selalu saja menempatkan petani dalam posisi berhadap-hadapan
dengan penguasa. Dalam posisi seperti ini sudah barang tentu resistensi petani
tak bisa dielakkan. Konflik ini, dalam catatan Onghokham (1994) sejak pemberontakan
Diponegoro berakhir (1830) hingga permulaan pergerakan nasional (1908),
terhitung lebih dari 100 pemberontakan dan keresahan petani terjadi.Keberadaan
tanah bagi petani selain berniali ekonomis, sebagai sumber penghidupan (Moore,
1966) juga bermakna magis-religio-kosmis (Topatimasang, 1998; Dhakidae, 1979;
Basyar, 1979) dan bahkan idiologis. Ironisnya, sejak zaman kolonial bahkan jauh
sebelumnya yakni dimasa kerajaan , hingga kini sejarah pertanahan (yang identik
dengan nasib kehidupan petani itu) tidak banyak menunjukkan adanya tanda-tanda
perbaikan. Kehidupan petani selalu terombang-ambing oleh ketidakpastian akibat
kebijakan negara tentang pertanahan yang sering berubah-ubah.