Selasa, 18 Juli 2017

Kopi di Perbukitan Menoreh


“Bukan Salah Kopi, tapi Salah Penikmat Kopi yang Salah Menikmati”
Riry, owner dan barista Kedai Riphy

Berbicara kopi, tidak akan pernah habis. Dari kopi masih berbentuk bibit, ditanam, menjadi tunas, berubah pohon, kemudian berbunga, lantas berbiji, kemudian dipanen, hingga sampai pada cangkir-cangkir kita, panjang. Hendak bergaya seperti apa kopi ketika sampai cangkir, maka perlu waktu yang panjang untuk bercerita, dari yang tradisional maupun yang modern. Gaya kopi yang familiar dimasyarakat kita ada tubruk, agak modern lagi ada metode seduh pour-over, aeropress hingga espresso dan espresso-based dll.
Kemarin, 17 Juli 2017, kami sempat berkeliling di 3 kedai kopi seputaran Perbukitan Menoreh, Kulonprogo. Berangkat pagi-pagi, membelah jalanan pinggiran Jogjakarta, bergumul dengan raung kendaraan para manusia pencari nafkah dan pergi kesekolah. Berbekal peta yang ada di gawai, kami bertekad baja bertahan di hawa jogja yang kebetulan hari itu bersuhu 190 Celcius[1]. Atas dasar penasaran, kami akhirnya mewujudkan apa yang pernah terwacanakan.

Kedai Kopi Menoreh Pak Rahmat
Sekira pukul setengah sempilan, kami sampai di kedai kopi pertama, Kedai Kopi Pak Rahmat. Setiba di kedainya, kami disambut oleh tukang bangunan (yang kebetulan sedang merenovasi mushollah di samping kedai) dan dipersilahkan untuk duduk terlebih dahulu. Tidak lama kemudian pemilik kedai sekaligus sebagai shohibul bait, Pak Rahmat, datang dan membawa menu sekaligus berbasa-basi menanyakan asal kami.
Kami melihat menu dan bertanya kopi apa yang spesial dan recommended di kedai, kata pak rahmat robusta dan kopi lanang. Pesan kopi lanang dua sekaligus paket yang ada, yang berisi camilan kampung (kacang rebus, tahu goreng tepung, geblek, singkong rebus). Menu paket tersebut dihargai hanya Rp. 15.000,-. Ada pilihan menu minuman lain sebenarnya, seperti kopi arabika, teh, susu, kopi susu dll. Juga ada menu makanan lain, baik berat maupun camilan, seperti pisang goreng, mie rebus/goreng, inkung ayam kampung dll.
Sembari menunggu pesanan datang, kami sedikit berkeling disekitaran kedai. Ada beberapa pohon kopi, yang kami taksir adalah jenis robusta. Beberapa pohon kopi masih ada yang berbuah dan merah. Di samping beberapa pohon kopi tersebut, ada petunjuk arahterbuat dari kayu yang menunjukkan kearah kebun kopi. Sayangnya, kami tidak terlalu tertarik ke kebun kopinya. Kata pak rahmat, kebun bisa ditempuh sekitar 10menit dengan berjalan kaki dari kedai.
Saat pesanan datang, kami biarkan sejenak kopinya agar ampasnya turun semua. Dalam ekspektasi kami, kopi menoreh terkenal dengan kopi moka, maka yang tercium dan terasa adalah kopi dengan rasa moka. Namun, saat menghirup aroma dan menyeruput pertama kali, ekspektasi biarlah menari dalam benak, walau beberapa kali kami hirup dan sruput. Walau begitu, kami tidak terlalu kecewa, karena rasa kopi tidaklah seburuk apa yang kami bayangkan walau memakai alat tradisional dan diolah secara pribadi oleh Pak Rahmat.
Mungkin adalah sebuah padanan yang pas antara kopi yang masih hangat, camilan yang beragam, udara yang sejuk dengan landscape hijau disekitar kedai. Suasana yang begitu cantik dan menawan dan cocok sebagai “pelarian” dikala penat. Untung ketika kami datang sangatlah sepi, kemungkinan kami adalah pelanggan pertama dipagi itu.

Kedai Kopi Suroloyo
Awalnya kami tidak ada rencana ke kedai ini, namun ketika melihat dan membaca beberapa blog, ternyata Kedai Kopi Pak Rahmat merupakan jalan menuju Puncak Suroloyo. Kebetulan dari beberapa teman pernah bercerita tentang adanya kedai kopi di puncak tertinggu Bukit Menoreh. Sebagaimana pepatah yang pernah kita tahu, Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui, maka kami lanjutkan perjalanan dari Kedai Kopi Pak Rahmat menuju Puncak Suroloyo.
Udara yang dingin menusuk tulang dan kabut tebal yang meneduhkan, turut menyambut kami ketika sampai di Puncak Suroloyo. Pas dikawasan Puncak Suroloyo dan parkir motor kami, Kedai Kopi Suroloyo berdiri. Namun, kedai kopi yang kami harapkan ternyata tutup dan keadaan sekitar kawasan wisata tersebut sepi, hanya ada beberapa kios makanan yang buka dan pelanggannya-mungkin supir atau petani sekitar situ. Kabut yang tebal, sehingga membuat kesan mendung, menyelimuti kawasan tersebut. Harapan kami untuk bisa mencicipi kopi khas suroloyo di kedai tersebut seakan pupus. Jauh-jauh datang dan kedinginan, ternyata kedainya tutup.
Tidak lama berselang, saat kami melihat-lihat dan duduk-duduk di sekitaran kedai, kami didatangi oleh seseorang, beliau menanyakan maksud kami dan kamu utarakan maksud kami, yaitu ngopi!. Ternyata seseorang tersebut adalah pemilik kedai tersebut, akhirnya harapan kami tidak jadi pupus. Sembari membuka kedai, beliau memperkenalkan diri, namanya Mas Win (kurang jelas nama panjangnya). Tidak lama, kedai telah buka dan siap untuk menyeduh kopi.
Kami memesan kopi Arabika Suroloyo, kata Mas Win itu kopi khas Suroloyo. Namun, beliau menjelaskan dan memberi kabar buruk, kalau kopi Arabika Suroloyo yang terbaik atau grade A dan biasanya disajikan, telah habis atau tersisa cukup untuk satu cangkir dan sisanya berupa green bean atau belum di roasting. Jadi, kopi yang akan disajikan adalah kopi dengan bukan grad A atau kopi yang grade bawahnya, B. Agak kecewa sebenarnya, namun apalah daya, belum rejeki kami.
Kopi datang dan tersajikan dengan model Tubruk (di kedai Mas Win ini ada model penyeduhan pour-over V60, mokapot dan french press). Mas Win ikut bergabung dengan kami dan kami berkesempatan untuk ngobrol-ngobrol. Beliau bercerita banyak tentang Kopi Suroloyo. Ternyata sebab Kopi Suroloyo dengan grade A pada saat itu habis adalah karena petani kopi yang gagal panen di tahun ini. ditahun sebelumnya, petani mampu memproduksi 7 Ton, sedangkan di tahun ini hanya menghasilkan sekitar 1 Ton, itupun belum di sortir guna mendapatkan kopi yang berkualitas. Kemungkinan gagal panen karena hujan yang sering dan cuaca yang tidak menentu.
Kopi Suroloyo, kata Mas Win, diolah dengan cara yang bisa dibilang modern, dari merawat pohon kopi, memetik biji, proses pasca-panen hingga roasting atau menyangrai kopi. Proses pasca-panen biasanya menggunakan metode natural, fullwashed dan honey. Dan untuk me-roasting, Mas Win rela “turun gunung” ke Kota Jogja, karena menurutnya, kualitasnya bagus dan beliau belum mampu me-roasting sebaik seperti jamak di roastery di Kota Jogja. Dan ternyata, Kopi Suroloyo telah tersebar kurang-lebih di 80 kedai kopi atau kafe. Tersebar di wilayah jawa, sumatera, kalimantan hingga negara tetangga, Malaysia. Sebagian besar di kedai-kedai kopi kota jogja dan dijakarta. Akibat gagal panen ditahun ini, maka untuk sementara, supplay ke kedai-kedai mitra dihentikan. Mas Win tidak berani mengeluarkan atau memasok kopi yang bukan grade A. Alasannya, beliau ingin apa yang diingat setelah merasakan Kopi Suroloyo oleh para penikmat adalah kualitasnya yang baik.
Memang, belum banyak pohon kopi yang ada di sekitar Puncak Suroloyo ini. Bahkan, kata Mas Win, belum ada kebun kopi di sekitar Puncak Suroloyo, yang ada hanyalah pohon-pohon kopi yang seperti liar, tidak tumbuh teratur satu lokasi, rata-rata satu rumah memiliki beberapa pohon kopi di sekitar ladang atau rumahnya. Pantaslah, saat kami naik menuju Kedai Kopi Suroloyo, banyak kami jumpai pohon-pohon kopi dipinggir jalan. Namun bukan berati petani kopi tidak ingin menanam kopi dengan teratur, kabarnya saat ini Mas Win dan kelompok petaninya (yang menghasilkan Kopi Suroloyo), sedang mempersiapkan bibit kopi terbaik suroloyo dan ditanam disatu kebun, dan ditaksir oleh Mas Win satu-dua tahun kedepan, akan panen kopi dengan sistem berkebun. Mas Win mengakui, bahwa dia agak menyesal karena terlambat sadar akan dunia kopi, baru ditahun 2010 beliau memulai merintis Kopi Suroloyo dan ditahun 2013 membuka Kedai Kopi Suroloyo.
Untuk menebus sedikit kekecewaan kami yang tidak kebagian kopi terbaik Suroloyo, Mas Win menghadiahi kami gelang yang terbuat dari biji kopi yang dirangkai dengan tali yang elastis. Kabarnya, itu adalah sisa dari stok liburan lebaran kemarin yang laris diburu oleh wisatawan Puncak Suroloyo. Memang, banyak wisatawan yang berlibur ke Puncak Suroloyo yang mampir ke kedainya Mas Win, Kedai Kopi Suroloyo. Seperti siang kemarin, 3 orang wisatawan dari amerika datang dan mencoba kopi hasil seduhan Mas Win, tentu dengan jujur Mas Win mengabarkan kalau yang sedang diseduhnya bukanlah Kopi Arabika Suroloyo yang grade A. Wisatawan amerika tersebut memesan robusta, dan yang satu tetap memesan arabika.
Sembari menunggu kopi yang sedang diseduh, wisatawan amerika tersebut-bule, mereka bertanya-tanya tentang Kopi Suroloyo kepada Mas Win. Dari ketiga bule tersebut, ada satu orang yang berperan sebagai guide dan penerjemah, ternyata dia telah lama tinggal di indonesia, 15 tahun. Bule yang telah lama tinggal di Indonesia bersama anak-istrinya dan tinggal di Salatiga adalah Jhon. Satunya, cowok muda yang bernama Joshua, ia mengaku pernah bekerja sebagai barista di Starbuck. Satunya lagi adalah cewek, mungkin pacarnya Joshua. Mereka bertiga sebenarnya rombongan, namun yang lainnya entah kemana.
Selain menyapa dan berbincang dengan Mas Win tentang kopi, bule-bule tersebut juga menyapa kami. Menanyakan nama, kuliah atau bekerja, kuliah dimana, asalnya dari mana, dll. Nah, setelah sesi perkenalan yang sebagaimana mestinya itu, kami diajak berdiskusi panjang dan lebar. Hampir 3 jam kami ngobrol, berdiskusi dengan tema yang lumayan berat, yaitu Agama. Ya, kami diajak berdiskusi tentang agama kami dan mereka, Islam dan Nasrani. Tentang materi-materi dasar, yang tinggi hingga yang mainstream-dosa, pahala, akhirat, neraka, surga, ibadah, kenabian, kehidupan sosial antar umat beragama, terorisme dll (lebih lengkapnya, mungkin akan ditulis di kesempatan selanjutnya). Kami bergantian, awalnya kami yang Islam ini dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan, kemudian mereka meminta ijin kepada kami untuk mengutarakan pendapat mereka dari apa yang kami sampaikan. Cukup menarik memang dan semakin membuka cakrawala pikiran kami dan mereka. Tentu, dalam berdiskusi, kami dipandu dan diterjemahkan oleh Pak Jhon, karena keterbatasan kemampuan bahasa kami.
Sebenarnya kami masih ingin berdikusi lebih lanjut, namun waktulah yang membatasi kita. Ditutup dengan foto bersama, antara kami dan mereka, dengan latar hijaunya pemandangan Puncak Suroloyo. Juga mereka tidak lupa membeli oleh-oleh Kopi Robusta Suroloyo dan Teh Suroloyo di kedainya Mas Win. Sembari memberi salam perpisahan, yang kami ingat hanyalah ucapan “see you next time”, “”nice too meet you”, “bye-bye”, kita mengakhiri ngopi siang itu.

Kedai Kopi Moka Bu Mar
Ketika berpamitan untuk pulang dengan Mas Win, kami disarankan untuk mampir ke kedai Kopi Moka Bu Mar oleh Mas Win. Saran tersebut adalah respon dari Mas Win tentang maksud kami datang ke perbukitan Menoreh, menjajal kopi yang ada di sekitar Suroloyo. Ternyata kedai Kopi Moka Bu Mar adalah jalan pulang kita dan tidak jauh dari Kedai Kopi Pak Rahmat yang telah kami kunjungai sebelum Kedai Kopi Suroloyo. Jaraknya pun kurang lebih hanya 1 sampai 2 km dari Kedai Kopi Pak Rahmat.
Dengan mengikuti petunjuk jalan dan bertanya kepada salahsatu warga, sampailah kami di Kedai Kopi Moka Bu Mar dan disambut oleh Bu Mar sendiri. Segeralah kami memesan, 2 kopi arabika moka dan camilan-geblek dan tempe goreng. Suasananya tidak jauh beda dengan Kedai Kopi Pak Rahmat. Yang membedakan mungkin, dibelakang kedai terlihat kebun kopi yang kecil. Tidak lama kemudian, kopi dan pesanan kami datang. Soal rasa dan aroma kopi, tidak jauh berbeda dengan kopi di kedai Pak Rahmat, hanya saja aroma dan rasa moka dari kopi Bu Mar lebih terasa. Sama-sama diolah dengan tradisional. 

Geliat Kopi di Perbukitan Menoreh
Di sekitaran Perbukitan Menoreh-menuju Puncak Suroloyo, kita akan banyak melihat pohon-pohon kopi tumbuh liar seperti pohon talok/kersem/keres pinggir-pinggir jalan. Juga, disebagian jalan-jalan yang kita lewati, banyak warga yang sedang menjemur buah kopi, juga di depan rumah dan diatas atap-genting rumah. Di pohon-pohon kopi, baik yang dipinggir-pinggir jalan, di depan/samping rumah, atau di antara rimbun semak dan tanaman lainnya, kan banyak di jumpai buah cerry kopi yang merah marun, siap untuk dipetik.
Dalam perjalanan ke beberapa kedai kopi di perbukitan Menoreh, kami banyak mendapat pengetahuan, terutama tentang kopi. Mengobrol panjang-lebar dengan Mas Win tentang kopi, khususnya di Suroloyo, juga ketika kami diajak untuk menjemur kopi, sebagai proses pasca-panen metode natural, kami tahu tentang susah-payahnya petani menyediakan kopi yang terbaik untuk penikmatnya. Bahkan, kata Mas Win, dalam proses pasca-panen metode natural, membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk menjadi green bean, itu dengan syarat kalau cuaca sedang baik. Kalau cuaca tidak baik atau tidak ada panas, bisa jadi proses pasca-panen akan gagal. belum lagi, musibah gagal panen yang menimpa petani seperti tahun ini, menambah beban kesedihan.
Kopi Suroloyo memang perlu di apresiasi, supaya petani semakin sejahtera dan mandiri. Sebagimana Mas Win bilang tentang kehadiran Kopi di Perbukitan Menoreh, bahkan sampai kakek-neneknya beliau, tidak tahu sejak kapan pohon-pohon kopi ada dan hadir di Perbukitan Menoreh. Jadi, kopi di Perbukitan Menoreh merupakan anugerah yang perlu dilestarikan dan diproses dengan baik. Dan semoga, kedepannya, dunia per-kopi-an di Perbukitan Menoreh dapat bersaing dengan kopi-kopi lainnya, semacam gayo, kintamani, mandheling, dll. Dan semoga kita semakin menghargai kopi. Tabik!


[1] Menurut data aplikasi Accuweather