Kalau
kita memperhatikan dengan jeli geliat per-sosmed-an indonesia dewasa ini,
barangkali dosa-dosa kita terbantu menyusut karena kerapnya kita mengelus dada
dan menyebut istighfar. Atau malah dosa semakin menggunung gegara sering
misuh-misuh tidak karuan. Entah apapun sikap kita, kita memang patut tidak
menutup mata-hati ihwal kondisi ini, kondisi dunia per-sosmed-an kita. Segala
hiruk-pikuk indonesia seakan ditentukan oleh gemuruhnya sosmed dan keresahan
kita seolah dipermainkan olehnya.
Dewasa
ini, di dunia per-sosmed-an ramai gunjing tentang keabsahan tulisan dari
seorang bocah baru lulus SMA yang tulisannya sering dipandang berbobot,
mempunyai ruh, mengisyaratkan kedewasaan, dan memancarkan kebermanfaatan.
Gunjingannya bermula (kalau tidak salah) ketika si anak lugu ini mengomentari
tentang kasak-kusuk negeri ini, tulisan yang berjudul Warisan terduga sebagai
bukan tulisan asli atau tulisan bukan buatan sendiri si dedek ini. Belum
lagi, tidak sedikit yang mempermasalahkan perihal matan atau redaksi, isi atau
kandungan, makna tersirat-tersurat dan tetekbengek lainnya dari tulisan
yang berasal dari status facebook gadis ini. Gadis ini dikenal dengan nama Afi Nihaya Faradisa, dara dari
kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur.
Tulisan
gadis ini memang mengisyaratkan kedewasaan dari seorang bocah (beberapa tulisannya
bisa kalian nikmati di Kumparan “5 Status Inspiratif Afi
Nihaya Faradisa yang Viral”).
Akibatnya, banyak yang memuji sekalian memberi apresisasi. Ia diundang menjadi
narasumber di Universitas Gajah Mada (UGM), di acara-acara lainnya, distasiun-stasiun
televisi, diradio-radio dan seabrek media lainnya. Tapi, yang tidak
kalah kerennya, dara tersebut diundang oleh Yang Mulia Presiden RI ke-8, Bapak
Joko Widodo, ke Istana Negara, untuk menghadiri upacara Peringatan Hari
Pancasila. Yang tidak kalah penting, Afi diajak duduk dan ngobrol bersama Bapak
Negara, ngajak selfie lagi.
Tapi
banyak juga yang “tidak terima”. Pasalnya, tulisan dia dianggap tidak orisinil,
plagiat, tidak dari pemikiran sendiri. Mereka mempermasalahkan mengapa malah
memberi apresiasi yang lebih terhadap pelaku plagiat, pembuat karya tidak
orisinil. Bahkan, ketika dara tersebut menjadi narasumber di UGM, banyak yang
tidak terima. Alasannya beragam, salahsatunya dia dipandang tidak cocok ngisi
di kampus yang notabenenya dunia Mahasiswa atau akademik tinggi, tetiba anak ingusan
kemarin sore diundang buat memberi “pencerahan” di “dunia” yang bukan
“dunia”nya. Semacam, seperti ada Alien kepilih jadi ketua RW di planet Bumi!.
Tidak
sedikit pula kemudian banyak yang membandingkan dengan kehebatan seorang bocah
kecil lainnya dari Aceh, namanya Naufal Raziq. Kali ini ia disiarkan menemukan
sebuah penemuan mutakhir. Bocah tersebut menemukan energi listrik dari pohon
kedondong (salahsatu beritanya bisa ditengok di Jawapos “Kisah Mengagumkan Naufal
Raziq, Bocah Aceh Penemu Energi Listrik dari Pohon Kedondong”). Meskipun
listrik yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan listrik di desanya, dan
yang dihasilkan belum sampai keukuran Watt baru Miliwatt. Namun nasibnya tidak
begitu “cemerlang” dibanding Afi. Bocah Aceh ini belum atau bahkan tidak
diundang oleh Pak Presiden Jokowi ke istana, baru level Menteri dan Panglima
TNI yang pernah mengundangnya dan mengajak berdiskusi. Walaupun ini hasil
penemuannya sendiri.
Atas
dasar itulah kemudian banyak yang membandingkan antar keduanya. Kehebatan antar
dua bocah dibawah kata usia dewasa ini di ukur dan ditimbang. Bahkan, kedua
kubu pendukung antar klaim kehebatan kedua bocah tersebut. Ada pendapat
sepantasnyalah Afi memang mendapat apresiasi yang lebih tinggi sehingga diundang
pak Jokowi, dibandingkan Naufal. Sebaliknya, Naufal dipandang tidak begitu
hebat atas penemuan mutakhirnya tersebut. Dilain kubu, warganet
mempermasalahkan kehadiran Afi di UGM atas dasar ketidak ilmiahan tulisannya,
mempermasalahkan Sang Presiden mengundang pelaku Plagiat, media lebih
mengagungkan tulisan yang banyak “celah”nya yang ditulis oleh Afi dan seabrek
“negativisme” lainnya. Bahkan yang lebih parah, menyeret-nyeret keduanya, Afi
dan Naufal, dengan isu bola panas Pilkada DKI yang masih belum usia matang. Duh,
dek!
Kita
memang patut berkaca. Atas dasar apa kita meremehkan, mencemooh, dan miskin
apresiasi terhadap dua bocah yang pengetahuan tentang tisu magic pun
saya ragu mereka tahu. Mereka terlalu suci untuk diseret-seret dipusaran
perpolitikan kimcil dewasa ini. Terlalu belia untuk mengurusi
sumpah-serapah, menampung pisuh-pisuhan, meredam bully-an, Prestasi dan kelebihan
diusia yang masih belia mereka lah yang sepatutnya diapresiasi dengan baik.
Mereka terlalu dini untuk dikasih umpatan, lebih-lebih dituduh antek komunis!.
Atau
masyarakat kita memang mudah kagetan, mudah gumunan, mudah tercengang. Lawong
dulu Awkarin menggegerkan dunia per-sosmed-an toh kita sekarang juga
biasa-biasa aja. Padahal dandananya gak karu-karuan, umbar
ketidaksopanan, buka-bukaan, dan seabrek perilaku “setan” lainnya, Astaghfirullah!.
Seakan kita tidak merasa khawatir dan tidak segera mencari solusi atas fenomena
cewek kurang kasih sayang ini, semacam ada pembiaran. Padahal jelas-jelas cewek
ini jauh dari budaya ketimuran yang arif, bijaksana, sopan, santun, lembut dan tidak
“semau gue”. Malah kita sibuk mencari-cari kesalahan dari bocah suci minim
dosa ini. Seakan-akan kesilapan kecil dua bocah ini sangat membahayakan
kehidupan bermasyarakat kita di banding bahaya ketidak-jelasan cewek tocil
tanpa mutu ini.
Barangkali
kita tidak usah lagi mendebatkan kehebatan dua bocah tadi, Afi dan Naufal.
Kedua-duanya patut dan wajib mendapat apresiasi tinggi dari kita. Lebih baik
memang kita memberi penghargaan dengan sangat atas kehebatan kedua anak ini, Afi
dan Naufal. Bagaimana tidak, lewat keduanya kita bisa mengambil kebanggaan dan
keteladanan bahwa usia saja belum cukup untuk mengukur kedewasaan. Dari
keduanya bisa dijadikan uswatun khasanah generasi lanjut, umur belia
bukan alasan untuk tidak mencari dan menebar makna. Urusan kesilapan,
kekeliruan atau kekurangan mereka berdua, ya mbok bisa to dibimbing
lagi? Usia masih muda sepantasnya memang panjang usia dan tanpa lelah mencari
makna.
Setidaknya
mereka berdua jauh lebih mending daripada bocah kelewat “dewasa” satunya, yang keblingernya
kelewat batas. Namun bagaimanapun juga, awkarin adalah aset bangsa yang perlu
dibimbing dan dididik. Toh Awkarin juga pernah membuat bangga Indonesia,
pasalnya ia pernah meraih nilai UN SMP tertinggi se-kota Tanjungpinang, Riau
tahun 2013. Pernah ya, ingat, pernah!. Wallahu `alam bish showab.
[i] Kader
Muhammadiyah tulen yang mencintai kopi dengan sepenuh hati | Tinggal di
Kasihan, mBantul | Dari Lamongan, Jatim | 0857-4611-9096 | Fb : facebook.com/aliefyogadh
| ig/twit : @aliefyogadh | e : aliefyogadh@gmail.com