Sabtu, 03 Juni 2017

Afi, Naufal dan Awkarin : Pernik bangsa yang pernah silap.

Kalau kita memperhatikan dengan jeli geliat per-sosmed-an indonesia dewasa ini, barangkali dosa-dosa kita terbantu menyusut karena kerapnya kita mengelus dada dan menyebut istighfar. Atau malah dosa semakin menggunung gegara sering misuh-misuh tidak karuan. Entah apapun sikap kita, kita memang patut tidak menutup mata-hati ihwal kondisi ini, kondisi dunia per-sosmed-an kita. Segala hiruk-pikuk indonesia seakan ditentukan oleh gemuruhnya sosmed dan keresahan kita seolah dipermainkan olehnya.
Dewasa ini, di dunia per-sosmed-an ramai gunjing tentang keabsahan tulisan dari seorang bocah baru lulus SMA yang tulisannya sering dipandang berbobot, mempunyai ruh, mengisyaratkan kedewasaan, dan memancarkan kebermanfaatan. Gunjingannya bermula (kalau tidak salah) ketika si anak lugu ini mengomentari tentang kasak-kusuk negeri ini, tulisan yang berjudul Warisan terduga sebagai bukan tulisan asli atau tulisan bukan buatan sendiri si dedek ini. Belum lagi, tidak sedikit yang mempermasalahkan perihal matan atau redaksi, isi atau kandungan, makna tersirat-tersurat dan tetekbengek lainnya dari tulisan yang berasal dari status facebook gadis ini. Gadis ini dikenal dengan nama Afi Nihaya Faradisa, dara dari kabupaten Banyuwangi – Jawa Timur.
Tulisan gadis ini memang mengisyaratkan kedewasaan dari seorang bocah (beberapa tulisannya bisa kalian nikmati di Kumparan “5 Status Inspiratif Afi Nihaya Faradisa yang Viral”). Akibatnya, banyak yang memuji sekalian memberi apresisasi. Ia diundang menjadi narasumber di Universitas Gajah Mada (UGM), di acara-acara lainnya, distasiun-stasiun televisi, diradio-radio dan seabrek media lainnya. Tapi, yang tidak kalah kerennya, dara tersebut diundang oleh Yang Mulia Presiden RI ke-8, Bapak Joko Widodo, ke Istana Negara, untuk menghadiri upacara Peringatan Hari Pancasila. Yang tidak kalah penting, Afi diajak duduk dan ngobrol bersama Bapak Negara, ngajak selfie lagi.
Tapi banyak juga yang “tidak terima”. Pasalnya, tulisan dia dianggap tidak orisinil, plagiat, tidak dari pemikiran sendiri. Mereka mempermasalahkan mengapa malah memberi apresiasi yang lebih terhadap pelaku plagiat, pembuat karya tidak orisinil. Bahkan, ketika dara tersebut menjadi narasumber di UGM, banyak yang tidak terima. Alasannya beragam, salahsatunya dia dipandang tidak cocok ngisi di kampus yang notabenenya dunia Mahasiswa atau akademik tinggi, tetiba anak ingusan kemarin sore diundang buat memberi “pencerahan” di “dunia” yang bukan “dunia”nya. Semacam, seperti ada Alien kepilih jadi ketua RW di planet Bumi!.
Tidak sedikit pula kemudian banyak yang membandingkan dengan kehebatan seorang bocah kecil lainnya dari Aceh, namanya Naufal Raziq. Kali ini ia disiarkan menemukan sebuah penemuan mutakhir. Bocah tersebut menemukan energi listrik dari pohon kedondong (salahsatu beritanya bisa ditengok di Jawapos “Kisah Mengagumkan Naufal Raziq, Bocah Aceh Penemu Energi Listrik dari Pohon Kedondong). Meskipun listrik yang dihasilkan belum dapat memenuhi kebutuhan listrik di desanya, dan yang dihasilkan belum sampai keukuran Watt baru Miliwatt. Namun nasibnya tidak begitu “cemerlang” dibanding Afi. Bocah Aceh ini belum atau bahkan tidak diundang oleh Pak Presiden Jokowi ke istana, baru level Menteri dan Panglima TNI yang pernah mengundangnya dan mengajak berdiskusi. Walaupun ini hasil penemuannya sendiri.
Atas dasar itulah kemudian banyak yang membandingkan antar keduanya. Kehebatan antar dua bocah dibawah kata usia dewasa ini di ukur dan ditimbang. Bahkan, kedua kubu pendukung antar klaim kehebatan kedua bocah tersebut. Ada pendapat sepantasnyalah Afi memang mendapat apresiasi yang lebih tinggi sehingga diundang pak Jokowi, dibandingkan Naufal. Sebaliknya, Naufal dipandang tidak begitu hebat atas penemuan mutakhirnya tersebut. Dilain kubu, warganet mempermasalahkan kehadiran Afi di UGM atas dasar ketidak ilmiahan tulisannya, mempermasalahkan Sang Presiden mengundang pelaku Plagiat, media lebih mengagungkan tulisan yang banyak “celah”nya yang ditulis oleh Afi dan seabrek “negativisme” lainnya. Bahkan yang lebih parah, menyeret-nyeret keduanya, Afi dan Naufal, dengan isu bola panas Pilkada DKI yang masih belum usia matang. Duh, dek!
Kita memang patut berkaca. Atas dasar apa kita meremehkan, mencemooh, dan miskin apresiasi terhadap dua bocah yang pengetahuan tentang tisu magic pun saya ragu mereka tahu. Mereka terlalu suci untuk diseret-seret dipusaran perpolitikan kimcil dewasa ini. Terlalu belia untuk mengurusi sumpah-serapah, menampung pisuh-pisuhan, meredam bully-an, Prestasi dan kelebihan diusia yang masih belia mereka lah yang sepatutnya diapresiasi dengan baik. Mereka terlalu dini untuk dikasih umpatan, lebih-lebih dituduh antek komunis!.
Atau masyarakat kita memang mudah kagetan, mudah gumunan, mudah tercengang. Lawong dulu Awkarin menggegerkan dunia per-sosmed-an toh kita sekarang juga biasa-biasa aja. Padahal dandananya gak karu-karuan, umbar ketidaksopanan, buka-bukaan, dan seabrek perilaku “setan” lainnya, Astaghfirullah!. Seakan kita tidak merasa khawatir dan tidak segera mencari solusi atas fenomena cewek kurang kasih sayang ini, semacam ada pembiaran. Padahal jelas-jelas cewek ini jauh dari budaya ketimuran yang arif, bijaksana, sopan, santun, lembut dan tidak “semau gue”. Malah kita sibuk mencari-cari kesalahan dari bocah suci minim dosa ini. Seakan-akan kesilapan kecil dua bocah ini sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat kita di banding bahaya ketidak-jelasan cewek tocil tanpa mutu ini.
Barangkali kita tidak usah lagi mendebatkan kehebatan dua bocah tadi, Afi dan Naufal. Kedua-duanya patut dan wajib mendapat apresiasi tinggi dari kita. Lebih baik memang kita memberi penghargaan dengan sangat atas kehebatan kedua anak ini, Afi dan Naufal. Bagaimana tidak, lewat keduanya kita bisa mengambil kebanggaan dan keteladanan bahwa usia saja belum cukup untuk mengukur kedewasaan. Dari keduanya bisa dijadikan uswatun khasanah generasi lanjut, umur belia bukan alasan untuk tidak mencari dan menebar makna. Urusan kesilapan, kekeliruan atau kekurangan mereka berdua, ya mbok bisa to dibimbing lagi? Usia masih muda sepantasnya memang panjang usia dan tanpa lelah mencari makna.
Setidaknya mereka berdua jauh lebih mending daripada bocah kelewat “dewasa” satunya, yang keblingernya kelewat batas. Namun bagaimanapun juga, awkarin adalah aset bangsa yang perlu dibimbing dan dididik. Toh Awkarin juga pernah membuat bangga Indonesia, pasalnya ia pernah meraih nilai UN SMP tertinggi se-kota Tanjungpinang, Riau tahun 2013. Pernah ya, ingat, pernah!. Wallahu `alam bish showab.


[i] Kader Muhammadiyah tulen yang mencintai kopi dengan sepenuh hati | Tinggal di Kasihan, mBantul | Dari Lamongan, Jatim | 0857-4611-9096 | Fb : facebook.com/aliefyogadh | ig/twit : @aliefyogadh | e : aliefyogadh@gmail.com