Senin, 13 Februari 2017

Merindukan beliau, Pak AR

Pak AR, biasa kita menyebut pemimpin kita ini. Seorang pemimpin yang sangat dicintai ummatnya. Pemimpin yang sangat sederhana dan pemimpin yang sangat “membumi”. Sayang, Allah lebih cinta beliau sehingga kini ia telah datang ke haribaan-Nya. Namun, daripadanya kita dapat memperoleh beribu pelajaran hidup, baik yang ia sampaikan secara langsung maupun tidak. Olehnya, beribu tauladan dapat kita petik dari kehidupannya. Ditangannya, islam dibawa dengan sangat sejuk dan damai. Dalam berdakwah, ia memiliki prinsip : Islam harus dibawakan dengan senyum. Tidak heran, ia amat sangat dicintai oleh ummat, baik dari golongan Muhammadiyah maupun diluar Muhammadiyah.
Sikap beliau itu adalah aktualisasi dari hadits Nabi SAW, “Senyummu kepada saudaramu adalah ibadah”. Tidak heran, ketika kita mendengar nama beliau akan terlintas bahwa ia adalah seorang pengabdi ummat yang membawa islam dengan senyum, dengan ramah, dengan santun dan bijak. Kesan itulah yang melekat pada pemimpin kharismatik tersebut. Prinsip beliau tersebutlah yang kemudian membawa pandangan Muhammadiyah, organisasi yang pernah beliau pimpin, sebagai organisasi yang teduh nan damai. Pantas kiranya, Muhammadiyah hingga kini masih diberi kesempatan untuk bersinar lebih lama, walau ketika pada waktu itu sempat terjadi “huru-hara” di saat Orde Baru.
Sikap beliau yang ramah dan humoris itulah yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang pemimpin persyarikatan. Tidak tanggung-tanggung, boleh dikatakan bahwa beliau adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang paling lama menjabat. Hampir seperempat abad, ia memimpin organisasi dakwah ini. Berbagai macam kesukaran yang menimpa Muhammadiyah pada saat itu, dapat diatasi dengan sikap yang ramah, santun humoris itu. Salahsatu contohnya adalah, pada saat tahun 1970 an, era dimana Orde Baru sedang berkuasa. Saat itu, Muhammadiyah sedang di hadapkan oleh pilihan yang sangat dilematis, Muhammadiyah adalah salahsatu tiang penyangga Orde Baru harus dihadapkan oleh pilihan antara asas tunggal/Pancasila atau asas Islam. Dengan mempertimbangkan semuanya baik dengan jalan diskusi maupun berkonsultasi, akhirnya Muhammadiyah, lewat Pak AR, merumuskan kiat sederhana dan jitu. Bahwa penerimaan Muhammadiyah terhadap asas tunggal/Pancasila didasarkan pada komitmen rakyat terhadap Pancasila sebagai dasar negara. Pak AR mengibaratkan pilihan tersebut seperti “Politik Helm” –siapapun yang akan mengendarai sepeda motor di jalan raya, diwajibkan untuk mengenakan helm, sebagai prasyarat keselamatan. Kebijakan dan kemampuan mengelola Muhammadiyah pada masa yang sukar itulah menandakan akan daya tanggap dari beliau yang luwes, santun, sederhana dan kekuatan kepribadian beliau.
Disamping sisi beliau yang ramah, humoris dan suka senyum, beliau juga dikenal dengan seorang ulama yang sederhana, ikhlas dan bersahaja. Konon, beliau pernah ditawari menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun beliau tolak, beliau ditawari mobil oleh suatu perusahaan, beliau tolak. Beliau pernah ditawari menjadi menteri oleh Presiden Soeharto, namun beliau tolak. Bahkan, dalam sebuah riwayat salahsatunya tentang beliau, seorang ulama, pemimpin, orang terpandang namun sampai akhir hayatnya beliau tidak memiliki rumah. Beliau selama itu hanya mengontrak rumah aset dari Muhammadiyah. Walaupun, beliau pernah menyicil sebuah rumah namun beliau ditipu pengembang, uang cicilannya di gelapkan oleh pengembang, beliau tetap bersahaja.
Budayawan kondang, Emha Ainun Najib, pernah mengungkapkan kekagumannya terhadap guru besar itu “Sedemikian melimpah rezeki dari Allah kepada Pak AR sehingga kehidupan beliau hampir sama sekali tidak bergantung kepada barang-barang dunia”. Bisakah kita berpikir logis, ditengah era dimana sebuah jabatan adalah lahan garap penyubur kantong, Pak AR dengan bersahajanya, adalah seorang penjual bensin eceran di depan rumahnya. Bisakah kemudian kita bayangkan, beliau adalah pemimpin yang memimpin ummat berpuluh-puluh juta, memimpin organisasi yang memiliki beribu lembaga pendidikan dan kesehatan, yang dengan kepemimpinannya beliau bisa saja memanfaatkan posisinya untuk “mensejahterakan” hidupnya namun beliau hanya memiliki motor butut yang sering mogok.
Pak AR, yang memiliki nama panjang Abdul Rozak Fachruddin, adalah seorang pemimpin, ulama, guru yang kehidupannya patut kita jadikan tauladan. Semangat dan militansi beliau dalam berdakwah adalah uswah yang memang harus selalu kita contoh. Ditengah kondisi keindonesiaan yang kini bisa kita bilang mengalami krisis kepemimpinan, nampaknya merindukan sosok Pak AR bukanlah sebuah ketidakniscayaan. Memimpikan pemimpin yang sederhana, ikhlas, bersahaja, dan membumi mungkin sangat sulit kita dapatkan hari-hari ini. Nampaknya, kehadiran sosok pemimpin yang seperti beliau di saat bangsa mengalami masa yang bisa dibilang sulit, bak oase di tengah gurun yang terik dan tandus. Dibutuhkan sosok pemimpin yang dapat mencari jalan keluar di tengah permasahalan dengan jitu, sederhana dan memiliki kepribadian yang kuat.
Tidak salah, kini nama beliau diabadikan menjadi identitas sebuah organisasi kemahasiswaan Muhammadiyah di Yogyakarta. Namanya kini di pakai sebagai tanda kekaguman, cinta dan kasih kepada beliau, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Abdul Razak Fakhruudin Kota Yogyakarta. Entah bagaimana awal-mula founding father Pimpinan Cabang IMM AR Fakhruudin menggunakan nama beliau sebagai identitas organisasi. Mungkin, harapannya dari kawah inilah lahir pribadi-pribadi yang seperti Pak AR. Dari beliau, Pak AR, kesederhanaan, keikhlasan dan kebersahajaan adalah tauladan dalam berjuang di organisasi. Dari beliau, Pak AR, dapat menjadi contoh kita dalam mengemban misi di dunia sebagai Kholifatullah fi Al Ardli sehingga terwujud apa yang kita cita-citakan yaitu Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofurun –Negeri yang baik dengan Robb yang Maha Pengampun.
Kini tepat 14 Februari, Kiai Sufi ini, lebih satu abad dilahirkan dibumi sebagai kholifatullah. Tabik!