Pak AR, biasa kita menyebut
pemimpin kita ini. Seorang pemimpin yang sangat dicintai ummatnya. Pemimpin
yang sangat sederhana dan pemimpin yang sangat “membumi”. Sayang, Allah lebih
cinta beliau sehingga kini ia telah datang ke haribaan-Nya. Namun, daripadanya
kita dapat memperoleh beribu pelajaran hidup, baik yang ia sampaikan secara
langsung maupun tidak. Olehnya, beribu tauladan dapat kita petik dari
kehidupannya. Ditangannya, islam dibawa dengan sangat sejuk dan damai. Dalam
berdakwah, ia memiliki prinsip : Islam harus dibawakan dengan senyum. Tidak
heran, ia amat sangat dicintai oleh ummat, baik dari golongan Muhammadiyah
maupun diluar Muhammadiyah.
Sikap beliau itu adalah
aktualisasi dari hadits Nabi SAW, “Senyummu
kepada saudaramu adalah ibadah”. Tidak heran, ketika kita mendengar nama
beliau akan terlintas bahwa ia adalah seorang pengabdi ummat yang membawa islam
dengan senyum, dengan ramah, dengan santun dan bijak. Kesan itulah yang melekat
pada pemimpin kharismatik tersebut. Prinsip beliau tersebutlah yang kemudian
membawa pandangan Muhammadiyah, organisasi yang pernah beliau pimpin, sebagai
organisasi yang teduh nan damai. Pantas kiranya, Muhammadiyah hingga kini masih
diberi kesempatan untuk bersinar lebih lama, walau ketika pada waktu itu sempat
terjadi “huru-hara” di saat Orde
Baru.
Sikap beliau yang ramah dan
humoris itulah yang kemudian menghantarkannya menjadi seorang pemimpin
persyarikatan. Tidak tanggung-tanggung, boleh dikatakan bahwa beliau adalah
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang paling lama menjabat. Hampir
seperempat abad, ia memimpin organisasi dakwah ini. Berbagai macam kesukaran
yang menimpa Muhammadiyah pada saat itu, dapat diatasi dengan sikap yang ramah,
santun humoris itu. Salahsatu contohnya adalah, pada saat tahun 1970 an, era
dimana Orde Baru sedang berkuasa. Saat itu, Muhammadiyah sedang di hadapkan
oleh pilihan yang sangat dilematis, Muhammadiyah adalah salahsatu tiang
penyangga Orde Baru harus dihadapkan oleh pilihan antara asas tunggal/Pancasila
atau asas Islam. Dengan mempertimbangkan semuanya baik dengan jalan diskusi
maupun berkonsultasi, akhirnya Muhammadiyah, lewat Pak AR, merumuskan kiat
sederhana dan jitu. Bahwa penerimaan Muhammadiyah terhadap asas
tunggal/Pancasila didasarkan pada komitmen rakyat terhadap Pancasila sebagai
dasar negara. Pak AR mengibaratkan pilihan tersebut seperti “Politik Helm” –siapapun yang akan
mengendarai sepeda motor di jalan raya, diwajibkan untuk mengenakan helm,
sebagai prasyarat keselamatan. Kebijakan dan kemampuan mengelola Muhammadiyah
pada masa yang sukar itulah menandakan akan daya tanggap dari beliau yang
luwes, santun, sederhana dan kekuatan kepribadian beliau.
Disamping sisi beliau yang
ramah, humoris dan suka senyum, beliau juga dikenal dengan seorang ulama yang
sederhana, ikhlas dan bersahaja. Konon, beliau pernah ditawari menjadi anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), namun beliau tolak, beliau ditawari mobil oleh
suatu perusahaan, beliau tolak. Beliau pernah ditawari menjadi menteri oleh Presiden
Soeharto, namun beliau tolak. Bahkan, dalam sebuah riwayat salahsatunya tentang
beliau, seorang ulama, pemimpin, orang terpandang namun sampai akhir hayatnya
beliau tidak memiliki rumah. Beliau selama itu hanya mengontrak rumah aset dari
Muhammadiyah. Walaupun, beliau pernah menyicil sebuah rumah namun beliau ditipu
pengembang, uang cicilannya di gelapkan oleh pengembang, beliau tetap
bersahaja.
Budayawan kondang, Emha Ainun
Najib, pernah mengungkapkan kekagumannya terhadap guru besar itu “Sedemikian melimpah rezeki dari Allah kepada
Pak AR sehingga kehidupan beliau hampir sama sekali tidak bergantung kepada
barang-barang dunia”. Bisakah kita berpikir logis, ditengah era dimana
sebuah jabatan adalah lahan garap penyubur kantong, Pak AR dengan bersahajanya,
adalah seorang penjual bensin eceran di depan rumahnya. Bisakah kemudian kita
bayangkan, beliau adalah pemimpin yang memimpin ummat berpuluh-puluh juta,
memimpin organisasi yang memiliki beribu lembaga pendidikan dan kesehatan, yang
dengan kepemimpinannya beliau bisa saja memanfaatkan posisinya untuk
“mensejahterakan” hidupnya namun beliau hanya memiliki motor butut yang sering
mogok.
Pak AR, yang memiliki nama
panjang Abdul Rozak Fachruddin, adalah seorang pemimpin, ulama, guru yang
kehidupannya patut kita jadikan tauladan. Semangat dan militansi beliau dalam
berdakwah adalah uswah yang memang harus selalu kita contoh. Ditengah kondisi
keindonesiaan yang kini bisa kita bilang mengalami krisis kepemimpinan,
nampaknya merindukan sosok Pak AR bukanlah sebuah ketidakniscayaan. Memimpikan
pemimpin yang sederhana, ikhlas, bersahaja, dan membumi mungkin sangat sulit
kita dapatkan hari-hari ini. Nampaknya, kehadiran sosok pemimpin yang seperti
beliau di saat bangsa mengalami masa yang bisa dibilang sulit, bak oase di tengah gurun yang terik dan
tandus. Dibutuhkan sosok pemimpin yang dapat mencari jalan keluar di tengah
permasahalan dengan jitu, sederhana dan memiliki kepribadian yang kuat.
Tidak salah, kini nama beliau
diabadikan menjadi identitas sebuah organisasi kemahasiswaan Muhammadiyah di
Yogyakarta. Namanya kini di pakai sebagai tanda kekaguman, cinta dan kasih
kepada beliau, Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Abdul Razak Fakhruudin Kota Yogyakarta.
Entah bagaimana awal-mula founding father
Pimpinan Cabang IMM AR Fakhruudin menggunakan nama beliau sebagai identitas
organisasi. Mungkin, harapannya dari kawah inilah lahir pribadi-pribadi yang
seperti Pak AR. Dari beliau, Pak AR, kesederhanaan, keikhlasan dan
kebersahajaan adalah tauladan dalam berjuang di organisasi. Dari beliau, Pak
AR, dapat menjadi contoh kita dalam mengemban misi di dunia sebagai Kholifatullah fi Al Ardli sehingga
terwujud apa yang kita cita-citakan yaitu Baldatun
Thoyyibatun wa Robbun Ghofurun –Negeri yang baik dengan Robb yang Maha
Pengampun.
Kini tepat 14 Februari, Kiai Sufi ini, lebih satu abad dilahirkan
dibumi sebagai kholifatullah. Tabik!